Rabu, 20 April 2016

SASTRA BANDINGAN



PERBANDINGANCERITA PENDEK  “POHON HAYAT”
KARYA MASHDAR ZAINAL DAN CERITA PENDEK
“DI TUBUH TARRA DALAM RAHIM POHON”
KARYA FAISAL ODDANG
Tugas Terstruktur Kelompok Mata Kuliah Sastra Bandingan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Disusun Oleh:
Hafizzurahman                                    F1011131006
Hazizah Mega Sari                              F1011131035
Nonik                                                  F1011131039
Afriyanti                                             F1011131055
MuhamadNakip                                  F1011131059
IchaNurma Jamelia                             F1011131061
MuhajirPratama                                   F1011131081
Yunida                                                            F1011131083











FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016



KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PerbandinganCerita Pendek  Pohon Hayat Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon Karya Faisal Oddang” ini sesuai dengan waktu yang telahditentukan. Makalah ini ditulis berdasarkan dari literatur buku dan media internet yang penulis peroleh. Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhitugas terstruktur kelompok matakuliah Sastra Bandingan.
Terselesainya makalah ini didukung oleh beberapa pihak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.    Dr. A. Totok Priyadi, M.Pd. dan Prof. Dr. H. Chairil Effendy, M.S., selaku dosen pengampu mata kuliah Sastra Bandingan;
2.    Serta teman-teman sekelompok yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Tim penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini. Apabila dalam penulisan ini masih terdapatkesalahan baik dari segi penulisan maupun materi, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik diwaktu yang akan datang.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

                                                                                                   Pontianak, 5 April 2016
                                                                                                   Penulis,

                                                                                                   Kelompok 4

















                                                         DAFTAR ISI
                                                                    
KATA PENGANTAR.............................................................................................   i
DAFTAR ISI............................................................................................................   iii
A.    BAB I PENDAHULUAN
1.         Latar Belakang ...........................................................................................   1
2.         Rumusan Masalah .......................................................................................   2
3.         Tujuan..........................................................................................................   3
B.     BAB II PEMBAHASAN
1.         Unsur IntrinsikCerita Pendek “Pohon Hayat” Karya Mashdar Faisal
dan “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang...........   4
2.         Persamaan dan Perbedaan Cerita Pendek “Pohon Hayat” Karya
Mashdar Faisal dan “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon”
Karya Faisal Oddang...................................................................................   6
3.         Pengaruh Cerita Pendek “Pohon Hayat” Karya Mashdar Faisal
dan “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang...........   9
C.     BAB III PENUTUP
1.    Simpulan ........................................................................................................ 20
2.    Saran .............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 22
LAMPIRAN............................................................................................................. 22

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sastra bandingan merupakan kajian ilmu sastra yang membandingkan dua buah karya sastra untuk menemukan suatu keterkaitan dan perbedaan. Tujuan sastra bandingan adalah yang pertama untuk mencari pengurut karya sastra satu dengan yang lain. Kedua untuk menentukan karya sastra yang benar-benar orinisial dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra. Ketiga untuk menghilangkan kesan karya sastra nasional tertentu lebih hebat disbanding karya sastra nasional yang lain. Keempat  mencari keragaman budaya dalam karya sastra. Kelima untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan karya sastra. Keenam yaitu untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya sastra. 
Pada makalah sastra bandingan ini, penulis akan membandingkan dua buah karya sastra yakni cerita pendek atau cerpen. Cerita pendek yang akan dibandingkan yakni “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang. Karya ini dipilih karena sama-sama menceritakan tentang kehidupan dua buah pohon yang di dalamnya menyimpan sebuah kehidupan. Selain itu, latar penulis yang berbeda, yakni Mashdar Zainal yang berasal dari Malang, Jawa Timur dan Faisal Oddang yang berasal dari Wajo, Sulawesi Selatan memberikan banyak hal yang berbeda untuk dikaji keterkaitannya sehubungan dengan jalan cerita yang memiliki topik yang sama yaitu pohon.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang?
2.      Apa saja persamaan dan perbedaan pada cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang?
3.      Apakah pengaruh cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang.
2.      untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pada cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang.
3.      Untuk mengetahui pengaruh cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Unsur Intrinsik Cerita Pendek  “Pohon Hayat” Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
1.      Unsur Intrinsik Cerita Pendek  “Pohon Hayat” Karya Mashdar Zainal
a.      Tema
Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema pada cerpen Pohon Hayat yaitu setiap orang akan mengalami kematian. 
b.      Tokoh
Tokoh adalah pelaku dalam karya sastra. Di dalam karya sastra biasanya terdapat beberapa tokoh, dan satu diantaranya tokoh utama. Dalam cerpen Pohon Hayat tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya adalah tokoh:
1)      Aku
2)      Nenek
3)      Ibu
Aku merupakan tokoh utama dalam cerpen Pohon Hayat.
c.       Penokohan    
Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh. Adapun penokohan dari tokoh yang terdapat dalam cerpen Pohon Hayat adalah sebagai berikut.


1)      Aku
Penokohan aku dalam cerpen Pohon Hayat ialah pemberani, percaya diri, takut/khawatir, dan ikhlas.Kutipan dari cerpen yang menunjukkan tokoh “ Aku” pemberani dan percaya diri :
Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.”
Kutipan cerpen Pohon Hayat yang menunjukkan bahwa tokoh “Aku memiliki rasa takut dan khawatir:
“Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek”.
Kutipan yang menunjukkan tokoh “Aku” memiliki sifat Ikhlas dalam cerpen Pohon Hayat ialah :
“Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.”

2)      Nenek
Penokohan nenek dalam cerpen Pohon Hayat ialah  suka bertakhayul.
Kutipan yang menunjukkan bahwa nenek merupakan tokoh yang suka bertakhayul ialah:
“Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.”
3)      Ibu
Penokohan Ibu dalam cerpen Pohon Hayat ialah penyabar, baik, dan penyayang. Kutipan yang membuktikan bahwa tokoh Ibu merupakan tokoh yang penyabar ialah:
Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.”
Kutipan yang membuktikan bahwa tokoh Ibu merupakan tokoh yang baik ialah:
“Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. “Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu persatu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.”
Kutipan yang membuktikan bahwa tokoh Ibu merupakan tokoh yang penyayang:
“Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga, jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya…,” ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.”
d.      Latar
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar yang terdapat dalam cerpen Pohon Hayat ialah latar tempat, waktu dan suasana. Berikut ini penjelasannya dan dibuktikan dengan kutipan yang terdapat dalam cerpen tersebut.



1)      Tempat
a)      Alun-alun kota
“Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek mengadah ke atas. Aku pun menirukannya.”
b)      Rumah
Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakkan lirih, “Nenekmu sudah pergi”.
2)      Waktu
Waktu yang digambarkan dalam cerpen ini yaitu siang hari yang dapat diketahui jika membaca cerpen secara keseluruhan.
a)      Suasana
(1)   Menyedihkan
Kutipan dalam cerpen:
“Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakkan lirih, “Nenekmu sudah pergi”. “Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.”
(2)   Porak poranda
Kutipan dalam cerpen:
“Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.”
“Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.




e.       Alur
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat dan utuh. Alur yang digunakan pengarang dalam  cerpen Pohon Hayat ialah alur maju. Pengarang mengisahkan tokoh aku dari kecil, ia merantau dan akhirnya kembali ke tempat kelahiran yang sudah mengalami perubahan.
f.       Pusat pengisahan (sudut pandang)
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pada cerpen Pohon Hayat pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh utama yang disebutkan dengan aku.
g.      Amanat
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. amanat yang ingin disampaikan pengarang melalui cerpen pohon hayat ialah sebagai manusia kita bisa kapan saja berpulang pada kematian yang telah ditentukan oleh Tuhan. Kematian akan datang kapan saja, di mana saja, pada siapa saja dan karena apa saja, baik tua atau muda akan mengalami kematian karena semua itu sudah ditakdirkan. Sebagai manusia kita harus tetap sabar dan ikhlas apabila kita kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi, dan kita harus ingat bahwa hal itu mutlak terjadi.
2.      Unsur Intrinsik Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
Adapun unsur intrinsik Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang adalah sebagai berikut.
a.      Tema
Cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang bertemakan sosial-budaya di suatu daerah, tepatnya berada di daerah Makassar yaitu pada tradisi masyrakat Toraja tentang proses pemakaman dan status seseorang yang meninggal. Adapun kutipan yang menunjukkan hal ini, sebagai berikut:
Di Passiliran ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu—        menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga.” (Paragraf 1, hal. 2)

b.      Latar
Berikut latar yang terdapat pada cerpen  “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang.
1)      latar waktu:
a)      malam hari, berikut kutipannya: “tongkonan tampak gelap malam itu.” (hal.3)
b)      siang hari, berikut kutipanya” “pagi mulai beranjak siang. ku tahu itu dari getah putih yang mulai tak deras mengucur dari tubuh indo.“(hal. 4)
c)      pagi hari, berikut kutipannya: “pagi turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing batu an kekar akar-akar yang menjulangkan pohon di bukit Toraja.” (hal. 6)
2)      latar tempat
a)      di ambang bilik  (di pintu rumah), berikut kutipannya: “aku duduk di ambang bilik, melempar tatap sejauh mungkin.” (hal.4)
b)      di tongkonan (rumah adat Toraja), berikut kutipannya: “ambemu tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kappa harus dihelat mewah di tongkonan mereka.” (hal. 4)
c.       Tokoh dan Penokohan
Berikut tokoh serta penokohan yang terdapat dalam cerpen “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang.
1)      lola toding
a)      rendah diri, berikut kutipannya:
”Aku mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’6 sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.” (hal. 2), dan
“Saya dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami ini hanya tomakaka, bahkan ada tobuda7, tak seberapa nyali kami untuk melancangi kaum junjungan sepertimu.”(hal.2)

b)      keturunan bangsawan, berikut kutipannya:
“Ambemu tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa12 harus dihelat mewah di tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang menghindar, tulah akan menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana. Kendatipun bukan pokok perkara, pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati sebelum sempat mengecapi dunia lebih lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak Indo yang lain.” (hal. 4-5)
2)      runduma
a)      menepati janji, berikut kutipannya:
“Pagi mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang mulai tak deras mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok saya lanjutkan, Toding,” cetusmu.
”Kau janji?”
”Pasti saya cerita!” (hal.4)
d.      Sudut Pandang
Sudut pandang dalam cerpen “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang orang ke3 serba tahu.
e.       Amanat
Adapun amanat yang terdapat dalam cerpen “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” adalah, bahwa status seorang manusia tidak akan ada artinya apabila mereka meninggal, karena semua akan masuk syurga atau sama di mata tuhan. entah ia berasal dari keluarga bangsawan atau tidak.         `

B.     Persamaan dan Perbedaan Cerita Pendek  “Pohon Hayat” Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
1.      Persamaan Cerita Pendek  “Pohon Hayat” Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
Persamaan yang terdapat pada kedua cerpen ini yaitu sama-sama mengaitkan kehidupan manusia dengan sebuah pohon yang terdapat pada kutipan cerpen berikut:
a.       Pada cerpen Pohon Hayat “Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek”
b.      Pada cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim PohonPagi turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing batu dan kekar akar-akar yang menjulangkan pohon di bukit Toraja.”

Selain itu, kedua cerpen tersebut mempunyai kesamaan di unsur intrinsiknya. Adapun kesamaannya, antara lain:
2.      Perbedaan Cerita Pendek  “Pohon Hayat” Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
Perbedaan
Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon
Pohon Hayat

Pada cerita ini pohon kematian yang terdapat dalam cerpen DI Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon merupakan sebuah kuburan yang dikhususkan untuk bayi atau anak kecil.

“Di Passiliran ini, kendati ringkih ...”

Pohon Hayat merupakan pohon kematian yang menjadi penanda lepasnya kehidupan seseorang bila daunnya gugur.

“satu daun artinya satu kehidupan”

Tokoh di cerita ini merupakan tokoh yang sudah meninggal.

“engkau meninggal-entah sebab apa.”

Tokoh di cerita Pohon Hayat merupakan tokoh yang masih hidup.

“tubuhku gemetar memandangi satu-satunya dan yang masih bertengger di sana.”

Daun tersebut merupakan daun kehidupan milik si tokoh utama (aku)

Latar tempat dalam cerita ini di dalam tubuh pohon yang dijadikan makam.

“malam setelah kau makam di tubuhnya.”

Selain itu, latar tempat di cerita ini adalah di pedesaan di Toraja yang masih memegang teguh adat istiadat.

“mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh.”
“Keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu solo.”

Rambu solo adalan upacara atau perayaan kematian di Toraja.”

Dalam cerita Pohon Hayat ini latar tempatnya di sebuah alun-alun kota yang terdapat pohon.

“Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat dimana pohon itu berada.”

Pada cerita Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon alur cerita menggunakan alur campuran (maju-mundur).

Pada cerita Pohon Hayat alur cerita menggunakan alur maju. Cerita tersebut menceritakan masa kecil tokoh utama (aku) sampai ia merantau dan kembali ke tempat kelahiranya yang mengalami perubahan.


3.      Pengaruh Cerita Pendek  “Pohon Hayat” Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang 
            Karya satra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman. Cerpen pohon hayat yang di ciptakan oleh Mashdar Zainal lahir pada tahun 2012. Cerpen ini dalam struktur teksnya menceritakan tentang makna suatu pohon yang melambangkan kehidupan yang mengalami perputaran hingga akhir hayat.Menurut hemat si peneliti dalam hipotesisnya mengatakan terdapat hubungan yang sangat erat dalam struktur teks cerpen pohon hayat dengan cerpen di tubuh tarra dalam rahim pohon. Jauh sebelum manusia memiliki relasi rumit menggunakan bahasa kembali manuia kepada-Nya. Keterkaitan kedua cerpen memiliki pengaruh ini kepada pembaca tentang makna-makna kehidupan, arti sebuah kehidupan dan tentang bagaimana caranya untuk hidup. interaksi pertama dan paling kuno adalah hubungan manusia dengan alam. Pemaknaan dalam kedua cerpen yaitu bagaimana suatu pohon yang melambangkan kehidupan dan kematian dan pohon yang dijadikan tempat Penulis tidak dapat memastikan bahwa cerpen Pohon hayat berpengaruh pada cerpen di tubuh tarra dalam rahim pohon. Akan tetapi jika di telisik dari unsur pembuatan cerpen tersebut dimana pohon hayat lebih dahulu lahir bisa saja memiliki pengaruh terhadap struktur teks di tubuh tarra dalam rahim pohon. Terlepas dari itu semua memang tidak bisa dipungkiri bahwa kedua cerpen tersebut sama-sama mengupas tentang arti kehidupan yang menyiratkan bahwa sesungguhnya tidak ada yang bersifat abadi di dunia ini.
4.       



DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2012. Kumpulan Cerpen Kompas. Online
(dikunjungi pada Tanggal 30 Maret 2016, Https://Cerpenkompas.Wordpress.Com).
Oddang, Faisal. 2014. Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon. Online
(dikunjungi pada Tanggal 31 Maret 2016, Https://Lakonhidup.Wordpress.Com).
Nugraha, Oktavian Aditya. 2014. Sastra Banding. (Online)


















POHON HAYAT
Karya Mashdar Zainal
Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.
Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.
Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.
Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.
”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek.
Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.
”Nek,” aku menjawil lengan nenek.
”Ya?”
”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?”
”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.”
”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”
”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”
”Nek.”
”Ya?”
”Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.”
”Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?”
”Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”
”Apakah mereka akan segera gugur.”
”Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”
”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu?”
”Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.”
Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu.
”Nek.”
”Ya?”
”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?”
”Ya. Benar, memang kenapa?”
”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?”
”Ya. Tentu saja.”
”Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”
Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”
Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.
Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.
Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu.
Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala.
Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”
Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.
Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.
Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.
Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.
Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah.
Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela.
Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.
Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.
”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.
”Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.
Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah.
Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.
Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.
”Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.



















DI TUBUH TARRA DALAM RAHIM POHON
Karya Faisal Oddang
DI PASSILIRAN2 ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo3 tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu—menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga. Beberapa hari yang lalu, kau meninggal—entah sebab apa. Kulihat kerabatmu menegakkan eran4 di tubuh Indo untuk mereka panjati. Sudah kuduga, kau keturunan tokapua5, makammu harus diletakkan di tempat tinggi. Padahal kau, aku, dan anak-anak Indo yang lain, kelak di surga yang sama.  Pagi-pagi sekali, kau berdiri di ambang bilik—mengetuk pintu ijukku yang rontok sebab bertahun-tahun tak diganti.
”Boleh masuk?”
Aku mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’6 sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.
”Maaf,” bukamu, ”sudah seminggu saya di sini, tapi saya sepertinya masih sangat asing.”
”Saya dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami ini hanya tomakaka, bahkan ada tobuda7, tak seberapa nyali kami untuk melancangi kaum junjungan sepertimu.”
Air matamu jatuh, luruh satu demi satu. Apa yang salah dariku, atau darimu, Runduma? Iya, kutahu namamu dari Indo, malam setelah kau makam di tubuhnya, Indo menerakan segala perihal kau, mesti tak jelas dan tentu saja samar-samar. Kau membawa banyak luka dari dunia?
”Di dunia, saya junjunganmu. Tapi di sini beda…,” kau menggantung, wajahmu kian rusuh, adakah yang kisruh di pikiranmu? Kemudian, tangisanmu keras, bertambah deras buyar air matamu.
”Lola Toding?”
Aku tergagau. Kau tahu namaku? Ah ya, pasti Indo yang memberi tahu. Kau duduk geming—wajahmu tampak ragu.
”Ceritalah!” terkaku, dan aku yakin kau ingin menerakan sesuatu.
”Jangan sampai yang lain tahu, kau bisa menjaga rahasia, kan?”
Aku mengangguk meyakinkanmu. Kau menimpalkan senyuman lantas memulai kisahmu, dengan dada yang kelihatan sesak. Koyak.
Tongkonan8 tampak gegap malam itu. Suara-suara riuh. Wajah-wajah penuh peluh. Orang-orang berlibat bicara. Sesaat situasi menegang ketika seorang lelaki paruh baya memegang leher baju pemuda yang wajahnya kusut.
”Pemuda kusut itu ambe9ku.” Kausela ceritamu sendiri. Aku mengangguk, memberimu isyarat melanjutkan cerita.
Ambemu diam dalam simpuhnya. Ia tertssunduk lesu. Matanya berkaca-kaca seperti hendak marah namun tak sanggup.
”Dia sudah menyalahi pemali mappangngan buni10. Ia berzinah,” geram lelaki paruh baya itu. Dia kakekmu, Runduma? Betul. Kau mengangguk.
Ambe dan indomu pacaran. Bukan lantaran mereka saling mencintai sehingga adat tak adil padanya. Bukan. Seperti yang kauterakan; orangtuamu itu kedapatan saling tindih di semak belakang tongkonan sebelum resmi menikah. Untung yang menemukan mereka kerabatmu juga sehingga tak ia sebar kabarnya ke penjuru kampung.
Pagi mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang mulai tak deras mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok saya lanjutkan, Toding,” cetusmu.
”Kau janji?”
”Pasti saya cerita!”
”Janji jangan panggil Toding, itu nama lelaki, nama ayahku. Lola saja,” gelakku.
Kau tersenyum, tampak geli mendengarku.
Awan Agustus meriung di langit Toraja. Derau angin merontokkan rambut-rambut Indo yang kecoklatan. Aku duduk di ambang bilik, melempar tatap sejauh mungkin. Sebentar lagi, mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh. Kudengar kabar, keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu solo11 untuk mayat tanggungannya yang masih sakit dalam tongkonan. Ingin rasanya aku mengajakmu ke sana. Paling tidak, di sana kita akan melepas rindu pada sanak kerabat. Bukankah, bagi kita anak-anak Indo, surga kecil adalah senyuman kerabat. Atau kau ingin bertemu orangtuamu? Ikutlah denganku, Runduma, aku yakin acaranya pasti meriah. Akan ada puluhan kerbau yang dipotong, babi juga pasti banyak.
”Toding,” tegurmu melamurkan lamunku. Aku berbalik badan. Menatapmu tajam.
”Eh, maaf, maksud saya, Lola,” tambahmu lekas.
”Ada apa? Mau melanjutkan yang tak sampai waktu itu?”
”Punya waktu?”
”Silakan,” timpalku tanpa menjawab basa-basi mu.
Ambemu tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa12 harus dihelat mewah di tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang menghindar, tulah akan menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana. Kendatipun bukan pokok perkara, pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati sebelum sempat mengecapi dunia lebih lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak Indo yang lain.
”Pernikahan mereka lancar, hingga saya lahir dan berusia lima bulan. Semuanya berakhir begitu saja.” Kau tersedu. Tidak dapat melanjutkan kalimatmu. Lelaki dapat koyak juga, batinku. Tak sadar, kini kau telah merasuk dalam pelukanku.
Malam itu, malam terakhirmu di dunia. Kau mengembuskan napas penghabisan di tangan kedua orangtuamu. Mereka tak pernah akur setelah rahasia pernikahannya terbongkar. Ambemu menanggung borok utang. Sebagai kaum bangsawan, ambemu wajib membayar dengan dua belas kerbau dewasa untuk menyunting indomu. Jadilah ia memungut uang di kiri-kanan, tentu dengan bunga yang tinggi. Setelah lebih setahun pernikahan mereka utang ratusan juta itu belum juga dapat ambemu lunasi. Ia jadi sering marah. Memukuli dan mengumpati indomu. Kau sial malam itu, Runduma. Dari gendongan indomu kau terpental setelah ambemu tak lagi meredam amarahnya sehingga ia melompat dan mendorong indomu hingga tersungkur. Indomu meringis. Kepalamu mendabik keras lantai tongkonan. Sesaat hening. Kemudian suasana keruh. Rusuh. Ambemu kalap. Gelagapan. Indomu merasukkan tubuhmu ke gendongannya.
”Saya merasa napasku berat malam itu. Lalu tersengal-sengal,” katamu, dan kau semakin rapat dalam pelukanku.
”Kau ingat semuanya?” tanyaku penasaran.
”Tidak semua, tapi beberapa kejadian di jelang kematianku masih kuingat meski agak samar,” jelasmu.
Ambemu panik. Indomu jangan ditanya lagi. Ia kehilangan daya ketika melihat tangannya yang menadah kepalamu memerah darah. Di gendongannya kau dibawa lari ke muka tongkonan, ia berteriak.
”Tidak ada yang mendengar. Kupikir semuanya telah kalap dalam lelap.” Kau menukas kisahmu dengan pernyataan yang seakan-akan kausesali.
”Jadi kematianmu hanya disaksikan ambe serta indomu?”
”Tidak juga,” lantas jawabmu. ”Saat Puang Matua13 membawa arwahku, masih sempat kulihat Tanta Mori—adik perempuan Ambe menangisiku yang telah kaku di gendongan Indo.”
Kau menutup ceritamu dengan mengatupkan rapat lenganmu ke tubuhku. Kau memelukku lama. Lama sekali hingga kurasakan perasaan aneh terus menjalariku. Apakah ini cinta? Semoga tidak.
”Saya tak punya siapa-siapa,” selamu mengantarai isakanmu sendiri.
Kutepuk halus pundakmu, ”Ada kami dan Indo. Jangan bilang begitu.”
Perasaan aneh itu bertambah hebat dan akhirnya benar-benar merisakku. Aku mencintaimu, Runduma.
Pagi turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing batu dan kekar akar-akar yang menjulangkan pohon di bukit Toraja. Rumah kita dingin sekali pagi ini. Aku tengah menyusu. Riuh suara-suara terdengar di halaman passiliran. Runduma, kau datang padaku pagi itu dengan wajah yang menyimpan banyak cerita. Aku tahu itu. Kau lantas mengajakku masuk bilik dan duduk berhadapan.
”Lola, kau tahu siapa yang jadi memandu turis-turis itu?”
Aku menggeleng. Bingung.
”Sini, sini,” kau tarik tanganku lalu bersama kita singkap ijuk bilikku.
”Itu, tuh…”
Aku menelisik kerumunan orang yang sibuk berfoto di depan Indo.
”Yang pakai kacamata?”
”Bukan!” tukasmu.
”Yang berbaju coklat, pasti itu!
”Itu Ambe,” kau lesu mengatakannya. Wajahmu tampak begitu kisruh Runduma.
Kau tampak sedih hari ini. Padahal seharusnya rindumu terobati dan kau tak boleh menampung begitu banyak muram di dadamu. Lama sekali kita berdiam di ambang bilik menyaksikan pongah pengunjung dan tawa mereka yang kerap memilukan kita.
”Ambe menyambi pemandu saat bulan-bulan wisata, di hari biasa ia menggarap sawah.”
”Lihat, dia tahu banyak tentang Indo.” Kuarahkan pandangan ke ambemu. Ia tengah menjelaskan kepada turis-turis itu tentang passiliran ini.
”Ia bekerja sejak lajang.”
”Pantas!” anggukku.
Pagi tidak datang seperti biasa, lambat—lamat-lamat. Hari ini pagi dibangunkan oleh Indo, passiliran gempar. Indo murka. Anak-anaknya ketakutan. Rambut-rambut Indo berguguran. Meranggas satu-satu. Getahnya mengucur deras menjadi air mata.
”Kau di mana, Lola?”
Suara Indo bergetar memanggilku. Lantang seperti nekara ditabuh. Aku bergidik mendengarnya. Namun tak bisa menyahut.
”Di mana kau, Lola?” tanyamu dalam isakan. ”Mengapa kau pergi, saya mencintaimu.” Suaramu membuat debaran aneh itu kian menjalariku. Kau mencintaiku juga, Runduma?
Indo masih murka. Hampir tumbang tubuhnya lantaran tak dapat memendam dendam. Ia kehilangan anaknya. Semalam, tanpa ada yang tahu, ambemu, Runduma—membawa mayatku yang hanya tulang berbalut belulang. Ia menjualnya seharga ratusan juta rupiah kepada turis yang kemarin ia temani. Sekeras mungkin kuteriaki kau yang masih bersimpuh di bilikku yang kini kosong. Dari sini, antara surga dan passiliran arwahku tergantung tak jelas. Sebab tubuhku tak lagi menyatu dengan Indo. Aku mencintaimu, Runduma. Kuyakin kau tak mendengarnya.

Catatan:
1.      Tarra: pohon besar berdiameter hingga 3 meter yang dijadikan tempat mengubur bayi di Toraja.
2.      Passiliran: kuburan bayi di Toraja, dibuat di pohon tarra.
3.      Indo: ibu
4.      Eran: tangga
5.      Tokapua: golongan bangsawan/kasta tertinggi
6.      Tomakaka: kasta menengah
7.      Tobuda: kasta terendah
8.      Tongkonan: rumah adat Toraja
9.      Ambe: ayah
10.  Pemali mapangngan buni’: larangan berzina
11.  Rambu solo: perayaan kematian di Toraja
12.  Rampanan Kapa: pesta pernikahan
13.  Puang Matua: Tuhan


 

1 komentar:

  1. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-3-keuntungan-jalin-hubungan.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    BalasHapus