Rabu, 18 Juni 2014

analisis gaya bahasa anak bajang mengiring angin

Nama               : Afriyanti
Nim                 : F1011131055
Kelas               : II A
Prodi               : Pendidikan Bahasa  dan Sastra Indonesia


analisis gaya bahasa cerita "anak bajang mengiring 


angin"



Pembahasan


A.    Gaya Bahasa
Adapun gaya bahasa yang digunakan dalam cerita “ Anak Bajang Mengiring Angin” karya Sindhunata pada halaman 175 sampai 193, yaitu :
1.      Gaya bahasa yang ada dalam cerita “Anak Bajang Mengiring Angin” karya Sindhunata menggunakan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa persaman atau smile. Gaya bahasa persamaan atau smile adalah gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan sesuatu hal secara eksplisit. Gaya bahasa ini dicirikan dengan penguatan kata-kata, seperti : lakasan, seperti, bagai atau bagaikan, kayak, seolah, dan semacam. Adapun beberapa kalimat dalam cerita “Anak Bajang Mengiring Angin” yang menggunakan gaya bahasa persaman atau smile, adalah:
1)      “laksana terbakar keindahan Negeri Alengka karena matahari tak mau surut dari peredarannya.”
2)      “cahaya permata berlian iu bagaikan terang yang merebut sinar-sinar bintang dan bulan.”
3)      “matanya merah darah bagaikan hati mega yang marah.”
4)      “giginya laksana kilat yang meringgis, memancarkan sinar yang menyilaukan mata.”
5)      “gadanya seperti mau jatuh, meremukkan negeri alengka.”
6)      “mahkotanya yang tersusun tiga tergeleng-geleng, bagaikan istana beraja serigala yang lapar akan kekuasaan dewa.”
7)      “kebijakan adiknya yang tampan ini memang bagaikan rembulan.”
8)      “mengapakah bunga rangin di alenka seperti tuli terhadap angin?”
9)      “amarah arwana sudah membara bagaikan api.”
10)  “ia sudah terlepas dari badannya, yang bagaikan gunung memenjarakan jiwanya.”
11)  ”busananya yang indah gemerlapan menambah kekejaman nafsunya.”


2.      Gaya bahasa ke dua yang digunakan oleh Sindhunata dalam cerita “Anak Bajang Mengiring Angin” adalah gaya bahasa personifikasi atau prosopopoeia. Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (keraf, 2009: 140). Beberapa kalimat dalam cerita ini yang menggunakan gaya bahasa personifikasi adalah:
1)      “gapuranya yang keemas-emasan bagai berubah menjadi pintu yang menjilat-jilat dengan api.”
2)      “laksana terbakar keindahan Negeri Alengka karena matahari tak mau surut dari peredarannya.”
3)      “apa artinya kumbang-kumbang yang diam tak mendengung meski ia sudah haus akan madu-madu bunga sirih?”
4)      alam tetap membisu dalam kekeringannya. Tiada angin menembus mega-mega, sampai jatuh hujan-hujannya. Sunyi senyap lambaian pohon-pohon beringin, langit merah merengut kesegarannya. Seribu kembang kenanga layu bercucuran air matanya.”
5)      malam menangis panjang.”
6)      masa lampau bersandar di tebing-tebing jurang kehancuran”
7)      gelombangnya merayap setinggi gunung, lalu menghempaskan wibisana ke tengah samudra.”
8)      ”dengkuran guntur dari bukit penglebur gangsa memecah kesunyian langit.”
9)      “ia sudah terlepas dari badannya, yang bagaikan gunung memenjarakan jiwanya.”
10)  “mata wanita tua itu berkaca-kaca, hatinya membaca duka yang akan tiba.”

3.      Gaya bahasa ke tiga yang digunakan oleh Sindhunata dalam cerita “ Anak Bajang Mengiring Angin” adalah aliterasi. Aliterasi adalah satu diantara gaya bahasa retoris, semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Beberapa kalimat yang menggunakan gaya bahasa aliterasi, yaitu:
1)      “ada permata-permata berlian sebesar buah waluh.”
2)      “cahaya permata berlian iu bagaikan terang yang merebut sinar-sinar bintang dan bulan.”
3)      “rambutnya menjadi gelombang-gelombang api.”
4)      “apa artinya kumbang-kumbang yang diam tak mendengung meski ia sudah haus akan madu-madu bunga sirih?”
5)      “hendaklah negeri ini menjadikan gunung-gunung sebagai punggung-punggung kesegerannya.”
6)      malam bermalam, bintang berbintang dan bidadari-bidadari yang mandi dalam kesegaran telaga mawar.”
7)      “masa lampau bersandar di tebing-tebing jurang kehancuran”
8)      “dunia ingin damai dalam tidurmu. Tiada lagi melati di perut-perut bumi. Kereta-kereta sudah bernyala-nyala dengan api perang. Malaikat-malaikat maut mengawal dari langit, membawa perisai dan pedang tajam.”

4.      Gaya bahasa ke empat yang digunakan oleh Sindhunata dalam cerita “Anak Bajang Mengiring Angin” adalah hiperbola. Hiperbola adalah satu diantara gaya bahasa retoris, yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal . Beberapa kalimat yang mengandung gaya bahasa hiperbola:
1)      hatinya berkobar menyala akan segera menemukan negeri alengka.”
2)      “maka kera putih ini pun melesat halilintar yang dibidikan dewa indra.”
3)      “ada permata-permata berlian sebesar buah waluh.”
4)      kekeringan melanda seakan laut sudah habis airnya?”
5)      dengkuran guntur dari bukit penglebur gangsa memecah kesunyian langit.”

5.      Gaya bahasa ke lima yang digunakan oleh Sindhunata dalam cerita “Anak Bajang Mengiring Angin” adalah paradoks. Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.  Adapun kalimat yang termasuk ke dalam gaya bahasa paradoks :
1)      “dulu danaunya bertepian bunga-bunga kemuning,airnya jernih. Sekarang hanyalah rawa-rawa curam yang memberi sedikit kesegaran bagi penghuninya.”
2)      “apa artinya setitik kesedihan bagi hidup yang sudah kaya dengan penderitaan ini.”
3)      “di tengah samudera, ombak tenang bergulung-gulung, menjadi hamparan permadani biru yang mengayun-ngayunkan wibisana, bagai ibu yang membuat anaknya terlena dalam pelukannya.”

6.      Gaya bahasa ke enam yang digunakan dalam cerita ini adalah metafora. Metafora merupakan satu diantara gaya bahasa kiasan yang mengandung arti semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat seperti bunga bangsa, buaya darat, buah hati, dan sebagainya. Adapun kalimat yang terdapat pada cerita ini yang mengandung gaya bahasa metafora adalah: “wibisana, permata hatiku.

7.      Gaya bahasa ke tujuh yang digunakan dalam cerita ini adalah sinisme.sinisme dapat diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati (Keraf, 2010: 143) . Adapun kalimat yang mengandung sinisme adalah:
1)       “kau sudah terlalu tua untuk menjadi anak kecil yang merengek-rengek seperti sekarang.”
2)       “sudah terlampau perkasa aku untuk runtuh bersama penyesalanmu.”

B.     Isi Cerita

Adapun isi cerita “Anak Bajang Mengiring Angin” , khususnya pada halaman 175 sampai 193.
Anoman mengucapkan rasa syukur kepada dewa atas petunjuk yang telah dewa berikan kepadanya, yaitu petunjuk untuk menemukan negeri alengka. Anoman menyadari bahwa ia hanyalah seekor kera putih. Seketika ia melihat dirinya di air telaga sumala. Segala halangan dan rintangan di hadapi oleh Anoman si kera putih, itu semua ia lakukan untuk menemukan saudara-saudaranya di negeri alengka. Dan berkat pertolongan dari Gunung Maenaka, penjelmaan wahyu Bayu Gunung, anoman diberitahu tentang pintu masuk menuju negeri alengka, dan anoman pun di lempar oleh Bayu Gunung.
Negeri Alengka kini telah berubah, tidak seperti dulu yang penuh dengan keindahan dan ketenangan. Kini negeri Alengka menjadi negeri yang sangat menyedihkan dan menyeramkan. Semua itu karena ulah rahwana si raja negeri alengka.
Suatu hari Rahwana mengadakan musyawarah bersama pamannya Patih Prahasta, adiknya Wibisana dan semua petinggi-petinggi Alengka. Pada kesempatan itu Rahwana menanyakan, bagaimana cara ia untuk menaklukan hati Dewi Sinta, seorang gadis yang ia rebut dari tangan satria Ramawijaya. Dan Rahwana pun berniat untuk membunuh satria Ayodya, agar ia dapt memperistri Dewi Sinta. Tak lama kemudian adiknya yang bernama Arya Wibisana memberikan nasihat kepada Rahwana. Agar ia mengurungkan niat untuk membunuh Ayodya, karena Wibisana menganggap, apa yang dilakukan oleh Rahwana itu adalah kesalahan. Wibisana pun mencoba menyadarkan Rahwana untuk manjadi raja yang baik, di cintai rakyatnya, dan diagungkan oleh rakyat-rakyatnya.
Wibisana sangat menyayangi saudaranya. Satria yang hanya satu-satunya berwajah manusia ini terus mendesak kakaknya untuk menjadi raja yang baik bagi rakyatnya. Wibisana pun membeberkan segala perihal agar kakanya itu mengubah sikap egoisnya. Dari perubahan-perubahan yang telah terjadi di ngeri alengka, yang dulunya tentram, tenang, sejahtera dan damai kini telah menjadi negeri yang menyeramkan dan menakutkan.
Rahwana adalah raja yang sangat kejam. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak perintahnya. Disuatu ketika seseorang yang sangat dibenci Rahwana menuju kerajaan negeri alengka. Ia adalah duta Ramawijaya. Sekerika raja Rahwana memerintahkan para penjaga dan saudara-saudaranya untuk menjaga kerajaan negeri alengka dan membunuh duta Ramawijaya itu.

Nasihat yang diberikan Wibisana hanyalah angin lalu bagi rahwana, ia tidak perduli dengan segala hal yang telah terjadi di negeri alenka itu, yang ia tahu dan inginkan hanyalah Dewi Sinta dan kekuasaan. Rahwana sangat membenci nasihat yang diberikan wibisana kepadanya. Maka ia pun berniat untuk membunuh wibisana. Niat itu pun urung terlaksanakan dikarenakaan pamanya Patih Prahasta menghalangi Rahwana untuk membunuh Wibisana. Dan Wibisana pun diusir oleh Rahwana, seketika Wibisana pun pergi meninggalkan ruangan itu.
Kekecewaan Wibisana terhadap kakaknya menghantarkannya ke tempat kediaman ibunya Dewi Sukesi. Wibisana pun mengadu kepada ibunya terhadap perlakuanRrahwana kepadanya. Dewi Sukesi mengerti dengan segala keluhan anaknya itu. Karena Dewi Sukesi sendiri pun menyesalkan segala perbuatan anaknya, Rahwana terhadap negri Alengka yang kini telah berubah menjadi negeri yang sangat menyedihkan. Dewi Sukesi pun meminta anaknya , Wibisana untuk melawan kekuasaan Rahwana dengan mengabdi kepada ramawijaya musuh Rahwana.
Wibisana adalah anak yang sangat menyayangi ibunya Dewi Sukesi. Nasihat untuk mengabdi kepada Ramawijaya pun ia turuti, demi kemakmuran negeri Alengka. Tetapi langkah Wibisana untuk mengabdi kepada Ramawijaa terhenti seketika, karena Rahwana menghalanginya dan mengetahui bahwa Wibisana akan menghianati negerinya. Wibisana pun dibunuh oleh Rahwana. Dewi sukesi pun menyesali perbuatan anaknya Rahwana yang tega membunuh adiknya sendiri. Wibisana pun mati semua keinginan ibunya utnuk menghentikan perbuatan Rahwana pun terhenti. Rahwana pun memerintahkan saudaranya yang bernama Wilkataksini untuk membuang mayat Wibisana ke laut.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar