Nama : Afriyanti
NiM : F1011131055
Jurusan : Bahasa Dan Sastra Indonesia
BAB I
Pembahasan
A. Tanda
Tanda
menurut KBBI adalah yang menjadi alamat atau yang menyatakan
sesuatu. Tanda atau sign dapat
dikatakan sebagai substitusi (penggantian) untuk hal lain. Oleh karena itu,
tanda memerlukan interpretasi.
Teori
tanda telah dikembangkan oleh seorang pemikir Amerika, Peirce, pada abad ke-18.
Keberadaan teori tentang tanda ini kemudian dipertegas dengan munculnya buku The
Meaning of Meaning: A Study of The
Influence of Langue upon Thought and of the Science of Syombolism karya
C.K. Odgen dan
I.A. Richards tahun 1923.
Teori
tanda mengalami perkembangan, dan kemudian dikenal dengan teori semiotik yang
dikenal atas tiga cabang, yaitu (a)
semantik, (b)
sintaksis, dan (c) pragmatik.
Semantik berhubungan dengan makna tanda-tanda, sintaksis
berhubungan dengan kombinasi atau gabungan tanda-tanda, sedangkan pragmatik berhubungan
dengan asal-usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-anda di dalam tingkah
laku berbahasa.
Ada beberapa cara pengelompokan tanda. Berdasarkan sumber
atau asal-usulnya, tanda dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: Tanda yang
ditimbulkan oleh alam yang diketahui manusia karena pengalaman, misalnya:
a)
Hari mendung
adalah tanda akan segera turun hujan,
b)
Asap membumbung
adalah tanda adanya kebakaran,
c)
Petir adalah
tanda hujan akan turun lebat;
Tanda
yang ditimbulkan oleh binatang yang diketahui manusia dari suara binatang
tersebut, misalnya:
a)
Anjing menggonggong
adalah tanda ada orang yang masuk halaman rumah,
b)
Ayam berkokok
adalah tanda hari mulai pagi;
a)
Tanda yang
ditimbulkan oleh manusia.
Tanda yang ditimbulkan oleh manusia dibedakan menjadi
dua jenis yaitu, bersifat verbal dan bersifat nonverbal. Tanda yang bersifat
verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi, diihasilkan
oleh alat bicara, sedangkan tanda bersifat nonverbal adalah tanda-tanda yang
dihasilkan selain dari alat bicara manusia.
Berikut contoh
tanda yang bersifat nonverbal melalui gerakan anggota badan (body gesture) atau dikenal dengan
istilah bahasa isyarat dan yang bersifat nonverbal melalui suara atau bunyi. Contoh
tanda yang bersifat nonverbal melalui gerakan
anggota badan, yaitu:
a)
acungan jempol
sebagai tanda hebat atau bagus,
b)
anggukan sebagai
tanda hormat atau pernyataan ya,
c)
gelengan kepala
sebagai tanda pernyataan tidak atau bukan.
Contoh tanda yang bersifat nonverbal melalui suara atau bunyi, yaitu:
a)
siulan sebagai
tanda gembira, panggilan,
b)
jeritan sebagai
tanda sakit, ada bahaya, permintaan pertolongan,
c)
batuk kecil sebagai
tanda ingin berkenalan, ada orang lewat.
Tanda-tanda dapat dibagi atas, (a) tanda yang
sistematis dan (b) tanda yang tidak sistematis. Tanda yang dimbulkan oleh
anggota badan termasuk tanda yang tidak sistematis, sedangkan tanda-tanda
berupa rambu-rambu lalu-lintas termasuk tanda yang sistematis. Dikatakan sistematis
karena tanda-tanda tersebut bergerak secara sistematis, misalnya warna merah
bermakna berhenti, warna hijau bermakna silakan jalan, dan warna kuning bersiap
untuk melanjutkan perjalanan.
Tanda dapat pula dibedakan berdasarkan indera yang
digunakan sebagai dasar acuan. Berdasarkan hal ini, tanda terbagi menjadi tiga
jenis, yakni:
a)
auditif (indera pendengaran), misalnya beduk sebagai
tanda tibanya waktu sholat; sirene
sebagai tanda ada orang terkena musibah (sakit atau meninggal), bel sebagai tanda
ada tamu yang hendak masuk ke rumah;
b)
visual
(berhubungan dengan indera penglihatan), misalnya rambu lalu-lintas;
c)
audio-visual
(berhubungan dengan penglihatan dan pendengaran), misalnya ambulans yang
membunyikan sirene dan lampu merah yang berputar-putar di atasnya sebagai tanda
minta diberi jalan agar bisa segera sampai ke tujuan (rumah sakit atau tempat
pemakaman).
Ada pula tanda yang diklasifikasikan berdasarkan perbedaan yang
fundamental. Perbedaan tersebut meliputi: (1) ikonik (pembayangan), seperti
:foto, peta, model ; dan (2) konvensional (berdasarkan kesepakatan umum) misalnya
bahasa karena bahasa adalah sistem tanda yang konvensional.
Tanda berbeda dengan simbol atau lambang. Perbedaannya terlatak
pada hubungannya dengan kenyataan. Tanda memilki hubungan langsung dengan
kenyataan, sedangkan lambang atau simbol tidak memiliki hubungan langsung
dengan kenyataan. Misalnya, papan yang berbentuk bulat bercat putih dan di
tengahnya terdapat lintangan berwarna merah yang dipasang pada sebuah patok di
satu di antara sudut jalan adalah tanda yang bermakna bahwa jalan itu dilarang
untuk dimasuki kendaraan. Orang-orang yang melihat tanda tersebut tidak akan
memasuki jalan yang dikenakan tanda itu. Disamping itu, tanda lebih bersifat
universal. Artinya, siapa pun orangnya, dari mana pun ia berasal, ia akan tahu
makna tanda tersebut tanpa harus mempelajari bahasa suatu negara tersebut,
sedangkan simbol atau lambang tidak bersifat universal karena seseorang akan
dapat memahami suatu lambang kalau ia menguasai bahasa dari lambang atau simbol
yang digunakan.
B. Lambang atau simbol
Lambang memiliki pengertian sebagai sesuatu seperti tanda (lukisan,
tulisan, perkataan) yang menyatakan suatu hal, yang mengandung suatu makna
tertentu. Chaer mengemukakan (2013: 37) bahwa lambang sebenarnya juga adalah
tanda. Hanya bedanya lambang tidak memberi tanda secara langsung, melainkan
melalui sesuatu yang lain. Misalnya warna merah pada bendera Sang Merah Putih
merupakan lambang “keberanian”, dan warna putih merupakan lambang “kesucian”. Gambar
padi dan kapas pada burung Garuda Pancasila melambangkan”keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Lambang atau simbol merupakan tanda yang bersifat konvensional yang
dihasilkan manusia melalui alat ucapnya. Menurut Plato dalam Prawirasumantri
(1998: 24) bahwa lambang atau simbol adalah kata dalam suatu bahasa, sedangkan
makna adalah objek yang kita hayati di dunia yang berupa rujukan oleh lambang
tersebut. Seperti kata Odgen dan Ridchard (1972: 9) dalam Chaer (2013: 38) bahwa
lambang ini bersifat konvensional , perjanjian; tetapi ia dapat diorganisasi,
direkam dan dikomunikasikan.
Bunyi-bunyi bahasa atau satuan bahasa sebenarnya termasuk lambang sebab
sifatnya konvensional. Untuk memahami makna atau yang diacu oleh bunyi-bunyi
bahasa itu kita harus mempelajarinya. Tanpa memepelajarinya, orang Inggris
tidak akan tahu bahwa <meja> dalam bahasa Indonesia adalah ‘table’ dalam
bahasanya.
C. Konsep
‘Konsep’ merupakan istilah yang diajukan Lyons sebagai pengganti istilah
‘thought’ atau ‘reference’. Istilah ‘konsep’ sebenarnya sama dengan istilah ‘makna’.
Jika kita berbicara tentang konsep atau makna, kita tidak bisa mengabaikan
keberadaan dua unsure dasar dalam sistem tanda yang secara langsung memiliki
hubungan dengan konsepatau makna, yaitu:
1)
Signifiant: unsur
abstrak yang terwujud dalam lambang atau simbol,
2)
Signifikantor:
yang dengan adanya makna dalam lambang atau simbol itu mampu mengadakan
penjulukan, melakukan proses berfikir, dan mengadkan konseptualisasi.
Lambang atau
simbol adalah satuan bahasa yang berupa kata atau kalimat; acuan atau referent adalah objek, peristiwa, fakta
atau proses di dalam dunia pengalaman manusia, sedangkan konsep atau pikiran
atau reference adalah apa yang ada
dalam benak kita tentang objek yang ditunjukan oleh lambang atau simbol.
Antara konsep dan lambang terdapat hubungan timbale balik.
Misalnya, kata ‘’rokok’ yang diujarkan oleh seorang penutur dapat menyebabkan
penanggap tutur memikirkan kata tersebut. Demikian pula si penutur. Dengan konsepnya
dia memakai lambang “r-o-k-o-k’ untuk mengacu pada objek yang sama. Dengan kata lain, sebelum seseorang mengatakan suatu
lambang, di dalam benaknya sudah ada konsep (makna). Kemudian lambang itu
dimaknai oleh si penanggap tutur.
Setiap lambang atau simbol yang berupa kata mempunyai
konsep. Konsep dapat dikenali dalam keberadaanya sendiri (lepas atau bebas
konteks) atau melalui relasi dengan satuan bahasa lainnya (terikat konteks). Kata
berkonsep yang bebas konteks terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang acuannya
dapat dihindari dan yang acuannya tidak dapat dihindari. Dengan demikian, ada
tiga kelompok kata yang dimanfaatkan untuk kegiatan komunikasi, yaitu:
1)
kata yang
berkonsep, bebas konteks, acuannya dapat dihindari; ‘kursi’, ‘anggur’,
‘lemari’, ‘kuda’;
2)
kata yang
berkonsep, bebas konteks, acuannya tidak dapat dihindari: ‘demokrasi’, ‘sakit’,
‘panjang’;
3)
kata yang
berkonsep, tetapi harus terikat konteks: ‘yang’, ‘tetapi’, ‘dan’, ‘karena’.
Daftar Pustaka
Pateda, Mansur. 1986. Semantik
Leksikal. Ende-Flores: Nusa
Indah.
Sulistyowati.
2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Jakarta: CV. Buana Raya.
Prawirasumantri, Abud.,dkk. 1998. Semantik Bahasa Indonesia: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Chaer,
Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar