Selasa, 09 Desember 2014

analisis puisi "adam di firdaus" karya sugiono sastrowardojo







Adam di Firdaus
Karya: Subagio Sastrowardojo
Tuhan telah meniupkan napasnya
Ke dalam hidung dan paruku
Dan aku berdiri sebagai adam
Di samping sungai dua bertemu.

Aku telah mengaca diri
Ke dalam air berkilau. Tiba aku terbangun
Dari bayangku beku:
Aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu.

Aku telanjangkan perut dan berteriak:
“beri aku perempuan!” Dan suaraku
Pecah pada tebing-tebing tak berhuni.

Dan malam tuhan mematahkan
Tulang dari igaku kering dan menghembus
Napas di bibir berembun. Dan
Subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.

Ah, Perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini
Datang berulang.
A.    Tema
Tema adalah dasar, jiwa, sesuatu yang utama dan menjadi pijakan terciptanya puisi. Tema puisi merupakan satu diantara unsur intrinsik puisi. Puisi “Adam di Firdaus”mengungkapkan tema tentang kenikmatan Tuhan. Hal ini dapat dibuktikan dengan pilihan kata yang digunakan penyair.
1.      Pertama, dilihat dari kata “firdaus” pada judul puisi, dapat dikatakan bahwa firdaus adalah satu diantara nama syurga yang dijanjikan untuk manusia oleh tuhan, dan itu merupakan bentuk kenikmatan untuk seorang manusia pada masa akhirnya (mati) nanti.
2.      Ke dua, dapat dilihat pada bait pertama, di baris pertama dan kedua, “Tuhan telah meniupkan napasnya. Ke dalam hidung dan paruku”. Larik berikut menunjukkan suatu proses pemberian kenikmatan oleh tuhan kepada tokoh aku dalam puisi “Adam di Firdaus” berupa napas. Sehingga tokoh pada puisi tersebut dapat hidup dan menjadi seseorang yaitu Adam.
3.      Ke tiga, dapat dibuktikan pada bait ke dua, dibaris ke empat. “Aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu”. Larik berikut membuktikan bahwa, pada tokoh aku diberikan kenikmatan oleh tuhan berupa nikmat menjadi seorang laki-laki.
4.      Ke empat, dapat dilihat pada larik yang berbunyi “beri aku perempuan!”. Larik yang terdapat pada bait ke tiga di baris ke dua ini, jelas menunjukan hakikat seorang pria, bahwa seorang pria harus didampingi oleh seorang wanita. Dan adanya wanita bagi seorang laki-laki , yaitu pada tokoh aku dalam puisi ini merupakan sebuah kenikmatan bagi tokoh aku.
5.      Ke lima, “dan malam tuhan mematahkan. Tulang dari igaku kering dan menghembus. Napas di bibir berembun”.  Larik berikut, merupakan larik yang menunjukan penciptaan seorang wanita oleh Tuhan yang di peruntukan kepada tokoh aku. Penciptaan wanita itu merupakan nikmat yang Tuhan berikan untuk tokoh aku dalam puisi “Adam di Firdaus”.
B.     Citraan (imagery)
Citraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau kesan mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi, sebab melaluinya kita menemukan atau dihadapkan pada sesuatu yang tampak konkret yang dapat membantu kita dalam menginterpretasikan dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh dan tuntas.  Dalam  puisi “Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo, terdapat beberapa pencitraan. Dapat dibuktikan dengan beberapa pemilihan kata yang ada pada bait puisi ini, diantaranya sebagai berikut.
1)      Citraan penglihatan
Pada puisi “Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo, terdapat citraan penglihatan. Hal ini dapat dibuktikan pada bait ke dua, yaitu:
Aku telah mengaca diri
Ke dalam air berkilau. Tiba aku terbangun
Larik yang berbunyi “aku telah mengaca diri” yang di tulis oleh penyair menunjukan adanya penglihatan diri yang dilakukan oleh tokoh aku pada puisi tersebut. Kata “mengaca” yang berasal dari berkaca merupakan suatu kegiatan menggunakan kaca atau cermin untuk melihat diri. Citraan penglihatan juga terdapat pada bait pertama di baris ke empat, yang berbunyi “di samping sungai dua bertemu.” Penyair disini menginginkan pembaca untuk dapat melihat apa yang dilihat oleh tokoh aku pada saat itu.
2)      Citraan pendengaran
Terdapat citraan pendengaran dalam puisi ini. Dapat kita lihat paada bait ke tiga, yaitu yang berbunyi:
Aku telanjangkan perut dan berteriak:
“beri aku perempuan!” Dan suaraku
Pecah pada tebing-tebing tak berhuni.
Kata yang dipilih oleh penyair seperti “berteriak dan suaraku”, sangat erat dengan citraan pendengaran. Karena pada dasarnya, citraan pendengaran merupakan citraan yang medianya melalui telinga . Ada suara dan ada yang mendengar. Tokoh aku pada puisi ini, meminta kepada tuhan agar menciptakan seorang wanita untuk menemaninya. Permintaan itu dilakukan oleh tokoh aku dengan berteriak agar  suarnya didengar oleh Tuhan.
3)      Citraan perabaan
Puisi “Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo juga menggunakan citraan perabaan. Citraan yang membuat seolah-olah pembaca dapat merasakan dan menyentuh sesuatu yang dimaksud oleh penyair. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa larik yang terdapat pada puisi “adam di firdaus’.
a.      Tuhan telah meniupkan napasnya”
b.      “Tulang dari igaku kering dan mengehembus”
c.       “Subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.”
d.      “Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang”
e.       “Tetapi kesepian ini, kesepian ini. Datang berulang.”
4)      Citraan gerak
Citraan gerak merupakan pelukisan akan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi seolah-olah dapat bergerak atau lebih hidup. Pada puisi ini, terdapat citraan gerak pada bait ke dua di baris ke dua, yaitu “ke dalam air berkilau. Tiba aku terbangun”. Kata “tiba aku terbangun”, menunjukan adanya pergerakan yang dilakukan oleh tokoh aku dalam puisi ini. Karena, kata terbangun merupakan kata yang dimaknai sebagai sesuatu yang beralih tempat, beralih posisi.
C.     Rasa (feeling)
Rasa adalah perasaan atau keadaan jiwa penyair ketika menciptakan puisi tersebut.  Perasaan itu merupakan suasana perasaan penyair yang ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Pada puisi yang berjudul “Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo ini, terdapat perasaan bangga yang disampaikan oleh penyair. Rasa bangga itu merupakan bentuk kebanggaannya, karena ia tercipta sebagai seorang laki-laki. Hal ini dapat dibuktikan pada bait ke dua di larik ke empat “aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu”. Pernyataan yang dimaksudkan oleh penyair pada larik ini adalah, sebuah pengakuan yang mengatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang memilki ciri khas, yaitu dada yang berbulu dan perkasa atau kuat.
Adapun rasa (feeling)  lainnya, pada puisi yang disampaikan oleh penyair adalah rasa kesepian. Di dalam puisi ini, penyair menunjukkan bahwa seorang laki-laki tanpa adanya wanita pasti akan merasa kesepian. Hal ini, dapat kita lihat pada larik berikut:
Dan malam tuhan mematahkan
Tulang dari igaku kering dan mengehembus
Napas di bibir berembun. Dan
Subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini
Datang berulang
Dan dalam hal ini, penyair memilki rasa yang sama. Apabila ia tidak ditemani oleh kaum wanita, karena ia tercipta sebagai laki-laki maka ia akan merasa kesepian, sama seperti yang dialami tokoh aku pada puisi “Adam di Syurga”.
D.    Pilihan kata (diction)
Pilihan kata adalah kata-kata yang dipilih, dipakai  atau digunakan oleh penyair untuk menyampaikan suatu pengertian, gagasan dan bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat dan gaya makna yang paling baik.  Sehingga, mendapatkan efek yang dikehendaki.
Pada puisi “Adam di Syurga” karya Subagio Sastrowardojo, terdapat beberapa kata yang sering pembaca temui dan mudah dimaknai. Tetapi, di dalam puisi ini, penyair juga banayak menggunaka atau memilih kata-kata yang bisa dikatakan tidak mudah untuk dimengerti oleh pembaca biasa. Karena penyair banyak menuliskan kata-kata kiasan. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa pilihan kata penyair dalam puisi “Adam Di Syurga”, yaitu sebagai berikut.
a.       Kata “tuhan” banyak ditulis oleh penyair dalam puisi “Adam di Syurga”. Hal ini, dapat kita maknai bahwa semua makhluk telah diciptakan oleh sesuatu, yang penyair sebut itu “tuhan”. Kata “tuhan” juga ditegaskan oleh sebagai pencipta dan pemberi nyawa bagi makhluk ciptaannya.
b.      Pada bait pertama di baris pertama, penyair memilih kata “meniupkan” untuk menyatakan, bahwa tuhan telah memberikan napas kehidupan untuk tokoh aku pada puisi ini. Kata “meniupkan” terkesan lebih lembut dan mengena, daripada kata mengehembuskan.
c.       Kata “adam” pada bait pertama di baris ketiga, dipilih penyair untuk melukiskan sosok tokoh aku, yaitu seorang laki-laki pertama yang diciptakan Tuhan. Kata” adam” dianggap lebih puitis, daripada kata cowok, pria ataupun laki-laki. Dan ini sesuai dengan judul yang telah penyair buat.
d.      Pada baris pertama di bait ke dua yaitu “Aku telah mengaca diri”, dapat kita lihat, disini penyair menggunakan kata “mengaca” bukan berkaca. Seperti yang kita ketahui, kata mengaca di baris ini, bermakna bahwa tokoh aku melihat dirinya. Kata “mengaca” dipilih oleh penyair untuk menggantikan kata bercermin atau melihat diri. Hal ini dilakukan, agar makna yang ada dalam baris ini tetap puitis tidak langsung ke makna sebenarnya.
e.       Pada bait ke dua, di baris ke empat, yang berbunyi “aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu.” Dapat kita lihat, pilihan kata penyair, yaitu pada kata “mahkluk perkasa” dan “dada berbulu”, memilki makna yang tidak biasa. Penyair menggunakan kata “makhluk perkasa” untuk menegaskan, bahwa laki-laki itu kuat dan memilih kata”dada berbulu” untuk menunjukkan, bahwa itu adalah ciri khas dari seorang laki-laki yang kuat .
f.       Kata “telanjangkan”, yang terdapat pada baris pertama di bait ketiga ,memilki makna yang tidak sama halnya dengan makna telanjang seperti yang ada di kamus. Melainkan, di sini penyair memainkan kata-kata untuk mengiaskan makna “mengambil napas kemudian melepaskannya untuk meneriakkan suaranya”. Kata “telanjangkan” lebih dipilih oleh penyair, untuk memunculkan reangsangan  dari pembaca mengenai tokoh aku pada puisi ini.
g.      Pada bait ke tiga di baris ke empat, penyair menuliskan larik yang berbunyi “tebing-tebing tak berhuni”. Kata “tak berhuni” menunjukkan bahwa tokoh  aku yang di tulis oleh penyair sedang sendiri, tidak ada satupun makhluk selain dia dan tuhan.
h.      Pada bait ke empat, yang berbunyi “dan malam tuhan mematahkan”, terdapat kata “mematahkan” yang dipilih oleh penyair untuk mendukung larik berikutnya, yaitu “tulang dari igaku”, yang merupakan bagian terpenting dari tubuh si aku. Hal ini dapat dikatakan, penyair ingin menunjukkan adanya proses penciptaan seorang perempuan yang berasal dari tulang iga si aku ( adam). Dan makna dari “mematahkan” dan “tulang dari igaku” adalah bagian tubuh tokoh aku yang diambil, bukanlah keseluruhan tulang iganya melainkan hanya sebagian (satu).
i.        Apabila dilihat di bait ke lima, pada baris pertama, penyair kembali menekankan kata “perempuan”. Kata “perempuan” dipilih penyair untuk menujukkan adanya makhluk selain tokoh aku, yang diciptakn oleh  Tuhan. Dan perempuan yang dimaksud di sini adalah hawa yang menjadi teman hidup tokoh aku (adam).
j.        Pada bait ke lima, penyair mengungkapkan perasaannya lewat larik berikut, yaitu “tetapi kesepian ini, kesepian ini. Datang berulang.” Kata “kesepian” dan “datang berulang”, yang diungkapkan oleh penyair dapat kita maknai sebagai sebuah perasaan kesepian yang akan dialami kembali oleh tokoh aku pada puisi ini. Kata”datang berulang” dipilih penyair, karena mengandung makna yang lebih puitis dari pada kata “datang dua kali” walaupun kedua penulisan kata ini memilki makna yang sama. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pada suatu saat, perempuan yang menemaninya akan pergi meninggalkannya sendiri atau kembali kepada sang penciptanya. Dan tokoh aku akan kembali hidup sendiri, seperti pertama ia diciptakan. 
E.     Bunyi (sound)
Bunyi merupakan unsur terpenting dalam sebuah puisi. Dengan adanya bunyi sebuah puisi akan mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi juga erat kaitannya dengan anasir-anasir musik. Sehingga, bunyi menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantik.
Terdapat bunyi efoni dalam puisi “Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo. Adapun bunyi efoni adalah bunyi yang merdu atau indah. Bunyi efoni merupakan bunyi yang dihasilkan oleh kombinasi bunyi-bunyi vokal (a,i,u,e,o),bunyi konsonan bersuara (b,d,g,j), bunyi liquida (r,l) dan bunyi sengau ( m,n,ng,ny). Hal ini dapat kita lihat pada sajak “Adam di Firdaus” sebagai berikut.
a)      Bunyi pada bait pertama, di dominasi oleh bunyi vokal u, e, a dan i.
Tuhan telah meniupkan napasnya
Ke dalam hidung dan paruku
Dan aku berdiri sebagai adam
Di samping sungai dua bertemu.
Bunyi dari sajak puisi “Adam di Syurga” pada bait pertama, menghasilkan bunyi-bunyi yang indah. Dapat kita lihat, perpaduan antara bunyi vokal dan bunyi konsonan bersuara pada baris ke tiga, dan perpaduan antara bunyi vokal dan bunyi sengau pada baris pertama dan ke empat. Perpaduan-perpaduan bunyi pada bait ini memunculkan suasana lembut, walaupun terdapat bunyi i dan u yang menghasilkan bunyi tinggi pada bait ini.
b)      Pada bait ke dua, dapat kita lihat bunyi yang mendominasi, yaitu bunyi vokal u. Adapun bunyi vokal u menghasilkan suara atau bunyi yang bulat dan merdu. Bunyi u cocok digunakan untuk bunyi panjang.
Aku telah mengaca diri
Ke dalam air berkilau. Tiba aku terbangun
Dari bayangku beku:
Aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu.
c)      Pada bait ke empat, yaitu terdapat bunyi-bunyi kombinasi antara bunyi vokal, bunyi konsonan bersuara (b, d) dan bunyi sengau (m, n, ng), perpaduan ini menghasilkan bunyi yang merdu.
Dan malam tuhan mematahkan
Tulang dari igaku kering dan menghembus
Napas di bibir berembun. Dan
Subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.
Dapat kita lihat, bunyi u mendominasi pada baris ke empat. Bunyi ini  menjadi lebih enak ketika dibaca oleh pembaca. Sehingga bunyi panjang ini menghasilkan bunyi yang merdu dan indah.
Tidak hanya bunyi efoni, dalam puisi karya Subagio Sastrowardojo juga terdapat bunyi kakofoni. Bunyi kakofoni adalah bunyi yang penuh dengan bunyi k,p,t dan s. Bunyi ini menghasilkan bunyi yang tidak indah dan menunjukkan susasana yang tidak menyenangkan, kacau atau  berantakan. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa sajak yang ada pada puisi “adam di firdaus”.
a.       Dapat dibuktikan, bunyi kakofoni terdapat pada bait ke tiga, di baris petama dan ke tiga. Bunyi k, p dan t sangat mendominasi di dalamnya, sehingga bunyi yang dihasilkan kurang merdu dan terlihat bunyi-bunyi ini menunjukkan suasana yang kurang menyenangkan.
Aku telanjangkan perut dan berteriak:
“beri aku perempuan!” Dan suaraku
Pecah pada tebing-tebing tak berhuni.
b.      Pada bait ke lima, dapat dilihat adanya bunyi kakofoni. Bunyi yang bercirikan mengenai suasana tidak menyenangkan ini mendukung makna yang ada pada bait puisi ini. Yaitu mengenai penyair yang merasakan kesepian, dan kesepian merupakan hal yang tidak menyenangkan.
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini
Datang berulang.
Dalam puisi ini, penyair juga tampak memerhatikan unsur bunyi yang sama. Dengan memunculkan beberapa bunyi yang seragam dalam sajaknya sehingga mempermudah pelafalan oleh pembaca. Selain itu, manfaat yang lainnya adalah dengan bunyi yang seragam, maka suara yang dihasilkan pun akan seiringan dan senada, seperti:
Dari bayangku beku:
Aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu
Dan juga pada baris:
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini datang berulang.
Terdapat bunyi kakofoni di bait ke tiga dan ke lima. Di dalam bait ini juga terdapat bunyi efoni. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, puisi “adam di firdaus “ karya subagio sastrowardojo ini memiliki dua bunyi yaitu bunyi efoni dan kakofoni. Meskipun demikian, puisi “adam di syurga” lebih didominasi oleh bunyi efoni. Penyair sengaja memasukkan bunyi kakofoni untuk memberikan penekanan ekpresi dirinya. Sehingga, bunyi yang dihasilkan bervariasi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar