Adam
di Firdaus
Karya:
Subagio Sastrowardojo
Tuhan
telah meniupkan napasnya
Ke
dalam hidung dan paruku
Dan
aku berdiri sebagai adam
Di
samping sungai dua bertemu.
Aku
telah mengaca diri
Ke
dalam air berkilau. Tiba aku terbangun
Dari
bayangku beku:
Aku
ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu.
Aku
telanjangkan perut dan berteriak:
“beri
aku perempuan!” Dan suaraku
Pecah
pada tebing-tebing tak berhuni.
Dan
malam tuhan mematahkan
Tulang
dari igaku kering dan menghembus
Napas
di bibir berembun. Dan
Subuh
aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.
Ah,
Perempuan!
Sudah
beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi
kesepian ini, kesepian ini
Datang
berulang.
A. Tema
Tema adalah dasar, jiwa, sesuatu yang utama dan menjadi pijakan
terciptanya puisi. Tema puisi merupakan satu diantara unsur intrinsik puisi.
Puisi “Adam
di Firdaus”mengungkapkan tema tentang kenikmatan Tuhan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan pilihan kata yang digunakan penyair.
1. Pertama,
dilihat dari kata “firdaus” pada
judul puisi, dapat dikatakan bahwa firdaus adalah satu diantara nama syurga
yang dijanjikan untuk manusia oleh tuhan, dan itu merupakan bentuk kenikmatan
untuk seorang manusia pada masa akhirnya (mati) nanti.
2. Ke
dua, dapat dilihat pada bait pertama, di baris pertama dan kedua, “Tuhan telah meniupkan napasnya. Ke dalam
hidung dan paruku”. Larik berikut menunjukkan suatu proses pemberian
kenikmatan oleh tuhan kepada tokoh aku dalam puisi “Adam di Firdaus” berupa
napas. Sehingga tokoh pada puisi tersebut dapat hidup dan menjadi seseorang
yaitu Adam.
3. Ke
tiga, dapat dibuktikan pada bait ke dua, dibaris ke empat. “Aku ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu”.
Larik berikut membuktikan bahwa, pada tokoh aku diberikan kenikmatan oleh tuhan
berupa nikmat menjadi seorang laki-laki.
4. Ke
empat, dapat dilihat pada larik yang berbunyi “beri aku perempuan!”. Larik yang terdapat pada bait ke tiga di
baris ke dua ini, jelas menunjukan hakikat seorang pria, bahwa seorang pria
harus didampingi oleh seorang wanita. Dan adanya wanita bagi seorang laki-laki
, yaitu pada tokoh aku dalam puisi ini merupakan sebuah kenikmatan bagi tokoh
aku.
5. Ke
lima, “dan malam tuhan mematahkan. Tulang
dari igaku kering dan menghembus. Napas di bibir berembun”. Larik berikut, merupakan larik yang
menunjukan penciptaan seorang wanita oleh Tuhan yang di peruntukan kepada tokoh
aku. Penciptaan wanita itu merupakan nikmat yang Tuhan berikan untuk tokoh aku
dalam puisi “Adam di Firdaus”.
B. Citraan
(imagery)
Citraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan
keindrawian atau kesan mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi
merupakan unsur yang sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi, sebab
melaluinya kita menemukan atau dihadapkan pada sesuatu yang tampak konkret yang
dapat membantu kita dalam menginterpretasikan dan menghayati sebuah puisi
secara menyeluruh dan tuntas. Dalam puisi “Adam di Firdaus” karya Subagio
Sastrowardojo, terdapat beberapa pencitraan. Dapat dibuktikan dengan beberapa
pemilihan kata yang ada pada bait puisi ini, diantaranya sebagai berikut.
1) Citraan
penglihatan
Pada puisi “Adam di Firdaus” karya Subagio
Sastrowardojo, terdapat citraan penglihatan. Hal ini dapat dibuktikan pada bait
ke dua, yaitu:
Aku telah mengaca diri
Ke dalam air berkilau. Tiba
aku terbangun
Larik
yang berbunyi “aku telah mengaca diri”
yang di tulis oleh penyair menunjukan adanya penglihatan diri yang dilakukan
oleh tokoh aku pada puisi tersebut. Kata “mengaca”
yang berasal dari berkaca merupakan suatu kegiatan menggunakan kaca atau cermin
untuk melihat diri. Citraan penglihatan juga terdapat pada bait pertama di
baris ke empat, yang berbunyi “di samping
sungai dua bertemu.” Penyair disini menginginkan pembaca untuk dapat
melihat apa yang dilihat oleh tokoh aku pada saat itu.
2) Citraan
pendengaran
Terdapat citraan pendengaran dalam
puisi ini. Dapat kita lihat paada bait ke tiga, yaitu yang berbunyi:
Aku telanjangkan perut
dan berteriak:
“beri aku perempuan!” Dan
suaraku
Pecah pada
tebing-tebing tak berhuni.
Kata yang dipilih oleh penyair seperti “berteriak dan suaraku”, sangat erat
dengan citraan pendengaran. Karena pada dasarnya, citraan pendengaran merupakan
citraan yang medianya melalui telinga . Ada suara dan ada yang mendengar. Tokoh
aku pada puisi ini, meminta kepada tuhan agar menciptakan seorang wanita untuk
menemaninya. Permintaan itu dilakukan oleh tokoh aku dengan berteriak agar suarnya didengar oleh Tuhan.
3) Citraan
perabaan
Puisi “Adam di Firdaus”
karya Subagio Sastrowardojo juga menggunakan citraan perabaan. Citraan yang
membuat seolah-olah pembaca dapat merasakan dan menyentuh sesuatu yang dimaksud
oleh penyair. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa larik yang terdapat pada
puisi “adam di firdaus’.
a.
“Tuhan telah meniupkan napasnya”
b.
“Tulang
dari igaku kering dan mengehembus”
c.
“Subuh
aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.”
d.
“Sudah
beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang”
e.
“Tetapi
kesepian ini, kesepian ini. Datang berulang.”
4) Citraan
gerak
Citraan gerak merupakan
pelukisan akan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi seolah-olah
dapat bergerak atau lebih hidup. Pada puisi ini, terdapat citraan gerak pada
bait ke dua di baris ke dua, yaitu “ke
dalam air berkilau. Tiba aku terbangun”. Kata “tiba aku terbangun”, menunjukan adanya pergerakan yang dilakukan
oleh tokoh aku dalam puisi ini. Karena, kata terbangun merupakan kata yang
dimaknai sebagai sesuatu yang beralih tempat, beralih posisi.
C. Rasa
(feeling)
Rasa adalah perasaan atau keadaan
jiwa penyair ketika menciptakan puisi tersebut. Perasaan itu merupakan suasana perasaan
penyair yang ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Pada
puisi yang berjudul “Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo ini, terdapat
perasaan bangga yang disampaikan oleh penyair. Rasa bangga itu merupakan bentuk
kebanggaannya, karena ia tercipta sebagai seorang laki-laki. Hal ini dapat
dibuktikan pada bait ke dua di larik ke empat “aku
ini mahkluk perkasa dengan dada berbulu”. Pernyataan yang
dimaksudkan oleh penyair pada larik ini adalah, sebuah pengakuan yang
mengatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang memilki ciri khas, yaitu dada
yang berbulu dan perkasa atau kuat.
Adapun
rasa (feeling) lainnya, pada puisi yang disampaikan oleh
penyair adalah rasa kesepian. Di dalam puisi ini, penyair menunjukkan bahwa
seorang laki-laki tanpa adanya wanita pasti akan merasa kesepian. Hal ini,
dapat kita lihat pada larik berikut:
Dan malam tuhan mematahkan
Tulang dari igaku kering dan
mengehembus
Napas di bibir berembun. Dan
Subuh aku habiskan sepiku pada
tubuh bernapsu.
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan
badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini
Datang berulang
Dan
dalam hal ini, penyair memilki rasa yang sama. Apabila ia tidak ditemani oleh
kaum wanita, karena ia tercipta sebagai laki-laki maka ia akan merasa kesepian,
sama seperti yang dialami tokoh aku pada puisi “Adam di Syurga”.
D. Pilihan
kata (diction)
Pilihan
kata adalah kata-kata yang dipilih, dipakai
atau digunakan oleh penyair untuk menyampaikan suatu pengertian, gagasan
dan bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan
ungkapan-ungkapan yang tepat dan gaya makna yang paling baik. Sehingga, mendapatkan efek yang dikehendaki.
Pada puisi “Adam di Syurga” karya Subagio
Sastrowardojo, terdapat beberapa kata yang sering pembaca temui dan mudah
dimaknai. Tetapi, di dalam puisi ini, penyair juga banayak menggunaka atau
memilih kata-kata yang bisa dikatakan tidak mudah untuk dimengerti oleh pembaca
biasa. Karena penyair banyak menuliskan kata-kata kiasan. Hal ini dapat
dibuktikan pada beberapa pilihan kata penyair dalam puisi “Adam Di Syurga”, yaitu
sebagai berikut.
a. Kata “tuhan”
banyak ditulis oleh penyair dalam puisi “Adam di Syurga”. Hal ini, dapat kita
maknai bahwa semua makhluk telah diciptakan oleh sesuatu, yang penyair sebut
itu “tuhan”. Kata “tuhan” juga ditegaskan oleh sebagai
pencipta dan pemberi nyawa bagi makhluk ciptaannya.
b. Pada bait pertama di baris pertama, penyair
memilih kata “meniupkan”
untuk menyatakan, bahwa tuhan telah memberikan napas kehidupan untuk tokoh aku
pada puisi ini. Kata “meniupkan”
terkesan lebih lembut dan mengena, daripada kata mengehembuskan.
c. Kata “adam”
pada bait pertama di baris ketiga, dipilih penyair untuk melukiskan sosok tokoh
aku, yaitu seorang laki-laki pertama yang diciptakan Tuhan. Kata” adam”
dianggap lebih puitis, daripada kata cowok, pria ataupun laki-laki. Dan ini
sesuai dengan judul yang telah penyair buat.
d. Pada baris pertama di bait ke dua yaitu “Aku telah mengaca diri”,
dapat kita lihat, disini penyair menggunakan kata “mengaca” bukan berkaca. Seperti yang kita ketahui, kata mengaca di
baris ini, bermakna bahwa tokoh aku melihat dirinya. Kata “mengaca” dipilih oleh penyair untuk menggantikan kata bercermin
atau melihat diri. Hal ini dilakukan, agar makna yang ada dalam baris ini tetap
puitis tidak langsung ke makna sebenarnya.
e. Pada bait ke dua, di baris ke empat, yang
berbunyi “aku ini mahkluk
perkasa dengan dada berbulu.” Dapat kita lihat, pilihan kata penyair, yaitu pada kata “mahkluk perkasa” dan “dada berbulu”,
memilki makna yang tidak biasa. Penyair menggunakan kata “makhluk perkasa” untuk menegaskan, bahwa laki-laki itu kuat dan
memilih kata”dada berbulu” untuk
menunjukkan, bahwa itu adalah ciri khas dari seorang laki-laki yang kuat .
f. Kata “telanjangkan”,
yang terdapat pada baris pertama di bait ketiga ,memilki makna yang tidak sama
halnya dengan makna telanjang seperti yang ada di kamus. Melainkan, di sini
penyair memainkan kata-kata untuk mengiaskan makna “mengambil napas kemudian
melepaskannya untuk meneriakkan suaranya”. Kata “telanjangkan” lebih dipilih oleh penyair, untuk memunculkan
reangsangan dari pembaca mengenai tokoh
aku pada puisi ini.
g. Pada
bait ke tiga di baris ke empat, penyair menuliskan larik yang berbunyi “tebing-tebing tak berhuni”. Kata “tak berhuni” menunjukkan bahwa
tokoh aku yang di tulis oleh penyair sedang
sendiri, tidak ada satupun makhluk selain dia dan tuhan.
h. Pada
bait ke empat, yang berbunyi “dan malam
tuhan mematahkan”, terdapat kata “mematahkan”
yang dipilih oleh penyair untuk mendukung larik berikutnya, yaitu “tulang dari igaku”, yang merupakan
bagian terpenting dari tubuh si aku. Hal ini dapat dikatakan, penyair ingin
menunjukkan adanya proses penciptaan seorang perempuan yang berasal dari tulang
iga si aku ( adam). Dan makna dari “mematahkan”
dan “tulang dari igaku” adalah bagian tubuh tokoh aku yang diambil, bukanlah keseluruhan
tulang iganya melainkan hanya sebagian (satu).
i.
Apabila dilihat di bait ke lima, pada
baris pertama, penyair kembali menekankan kata “perempuan”. Kata “perempuan”
dipilih penyair untuk menujukkan adanya makhluk selain tokoh aku, yang
diciptakn oleh Tuhan. Dan perempuan yang
dimaksud di sini adalah hawa yang menjadi teman hidup tokoh aku (adam).
j.
Pada bait ke lima, penyair mengungkapkan
perasaannya lewat larik berikut, yaitu “tetapi
kesepian ini, kesepian ini. Datang berulang.” Kata “kesepian” dan “datang
berulang”, yang diungkapkan oleh penyair dapat kita maknai sebagai sebuah
perasaan kesepian yang akan dialami kembali oleh tokoh aku pada puisi ini. Kata”datang berulang” dipilih penyair, karena
mengandung makna yang lebih puitis dari pada kata “datang dua kali” walaupun
kedua penulisan kata ini memilki makna yang sama. Maka dari itu, dapat
disimpulkan bahwa pada suatu saat, perempuan yang menemaninya akan pergi
meninggalkannya sendiri atau kembali kepada sang penciptanya. Dan tokoh aku
akan kembali hidup sendiri, seperti pertama ia diciptakan.
E. Bunyi
(sound)
Bunyi merupakan unsur terpenting dalam sebuah puisi.
Dengan adanya bunyi sebuah puisi akan mendapatkan keindahan dan tenaga
ekspresif. Bunyi juga erat kaitannya dengan anasir-anasir musik. Sehingga,
bunyi menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantik.
Terdapat bunyi efoni dalam puisi “Adam di Firdaus”
karya Subagio Sastrowardojo. Adapun bunyi efoni adalah bunyi yang merdu atau
indah. Bunyi efoni merupakan bunyi yang dihasilkan oleh kombinasi bunyi-bunyi
vokal (a,i,u,e,o),bunyi konsonan bersuara (b,d,g,j), bunyi liquida (r,l) dan
bunyi sengau ( m,n,ng,ny). Hal ini dapat kita lihat pada sajak “Adam di Firdaus”
sebagai berikut.
a) Bunyi
pada bait pertama, di dominasi oleh bunyi vokal u, e, a dan i.
Tuhan
telah meniupkan napasnya
Ke dalam
hidung dan paruku
Dan aku
berdiri sebagai adam
Di samping
sungai dua bertemu.
Bunyi
dari sajak puisi “Adam di Syurga” pada bait pertama, menghasilkan bunyi-bunyi
yang indah. Dapat kita lihat, perpaduan antara bunyi vokal dan bunyi konsonan
bersuara pada baris ke tiga, dan perpaduan antara bunyi vokal dan bunyi sengau
pada baris pertama dan ke empat. Perpaduan-perpaduan bunyi pada bait ini
memunculkan suasana lembut, walaupun terdapat bunyi i dan u yang menghasilkan
bunyi tinggi pada bait ini.
b) Pada
bait ke dua, dapat kita lihat bunyi yang mendominasi, yaitu bunyi vokal u. Adapun
bunyi vokal u menghasilkan suara
atau bunyi yang bulat dan merdu. Bunyi u cocok digunakan untuk bunyi panjang.
Aku telah
mengaca diri
Ke dalam air berkilau. Tiba
aku terbangun
Dari bayangku
beku:
Aku ini mahkluk
perkasa dengan dada berbulu.
c) Pada
bait ke empat, yaitu terdapat bunyi-bunyi kombinasi antara bunyi vokal, bunyi
konsonan bersuara (b, d) dan bunyi sengau (m, n, ng), perpaduan ini
menghasilkan bunyi yang merdu.
Dan malam tuhan
mematahkan
Tulang dari igaku
kering dan menghembus
Napas di bibir
berembun. Dan
Subuh aku
habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.
Dapat
kita lihat, bunyi u mendominasi pada baris ke empat. Bunyi ini menjadi lebih enak ketika dibaca oleh pembaca.
Sehingga bunyi panjang ini menghasilkan bunyi yang merdu dan indah.
Tidak
hanya bunyi efoni, dalam puisi karya Subagio Sastrowardojo juga terdapat bunyi
kakofoni. Bunyi kakofoni adalah bunyi yang penuh dengan bunyi k,p,t dan s. Bunyi
ini menghasilkan bunyi yang tidak indah dan menunjukkan susasana yang tidak
menyenangkan, kacau atau berantakan. Hal
ini dapat dibuktikan pada beberapa sajak yang ada pada puisi “adam di firdaus”.
a. Dapat
dibuktikan, bunyi kakofoni terdapat pada bait ke tiga, di baris petama dan ke
tiga. Bunyi k, p dan t sangat mendominasi di dalamnya, sehingga bunyi yang
dihasilkan kurang merdu dan terlihat bunyi-bunyi ini menunjukkan suasana yang
kurang menyenangkan.
Aku
telanjangkan perut dan berteriak:
“beri
aku perempuan!” Dan suaraku
Pecah pada tebing-tebing
tak berhuni.
b. Pada
bait ke lima, dapat dilihat adanya bunyi kakofoni. Bunyi yang bercirikan
mengenai suasana tidak menyenangkan ini mendukung makna yang ada pada bait puisi
ini. Yaitu mengenai penyair yang merasakan kesepian, dan kesepian merupakan hal
yang tidak menyenangkan.
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan
badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian
ini
Datang berulang.
Dalam puisi ini, penyair juga tampak memerhatikan
unsur bunyi yang sama. Dengan memunculkan beberapa bunyi yang seragam dalam
sajaknya sehingga
mempermudah pelafalan oleh pembaca. Selain itu, manfaat yang lainnya adalah
dengan bunyi yang seragam, maka suara yang dihasilkan pun akan seiringan dan
senada,
seperti:
Dari bayangku beku:
Aku ini mahkluk perkasa
dengan dada berbulu
Dan
juga pada baris:
Sudah beratus kali
kuhancurkan badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini,
kesepian ini datang berulang.
Terdapat bunyi kakofoni di bait ke tiga dan ke lima.
Di dalam bait ini juga terdapat bunyi efoni. Sehingga dapat disimpulkan bahwa,
puisi “adam di firdaus “ karya subagio sastrowardojo ini memiliki dua bunyi
yaitu bunyi efoni dan kakofoni. Meskipun demikian, puisi “adam di syurga” lebih
didominasi oleh bunyi efoni. Penyair sengaja memasukkan bunyi kakofoni untuk
memberikan penekanan ekpresi dirinya. Sehingga, bunyi yang dihasilkan bervariasi.