PERBANDINGANCERITA
PENDEK “POHON HAYAT”
“DI TUBUH TARRA DALAM
RAHIM POHON”
KARYA FAISAL ODDANG
Tugas
Terstruktur Kelompok Mata Kuliah Sastra Bandingan
Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni
Disusun
Oleh:
Hafizzurahman F1011131006
Hazizah
Mega Sari F1011131035
Nonik F1011131039
Afriyanti F1011131055
MuhamadNakip F1011131059
IchaNurma
Jamelia F1011131061
MuhajirPratama F1011131081
Yunida F1011131083

FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Mahakuasa, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “PerbandinganCerita Pendek ‘Pohon Hayat’ Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek ‘Di Tubuh Tarra Dalam
Rahim Pohon’
Karya Faisal Oddang” ini sesuai dengan waktu yang telahditentukan. Makalah ini
ditulis berdasarkan dari literatur buku dan media internet yang penulis
peroleh. Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhitugas terstruktur kelompok matakuliah Sastra Bandingan.
Terselesainya makalah ini didukung
oleh beberapa pihak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr.
A. Totok Priyadi, M.Pd. dan Prof. Dr. H. Chairil Effendy, M.S., selaku dosen pengampu
mata kuliah Sastra Bandingan;
2. Serta
teman-teman sekelompok yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Tim
penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini.
Apabila dalam penulisan ini masih terdapatkesalahan baik dari segi penulisan
maupun materi,
kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak agar makalah ini
menjadi lebih baik diwaktu yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.
Pontianak,
5 April 2016
Penulis,
Kelompok
4
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ iii
A. BAB
I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang ........................................................................................... 1
2.
Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
3.
Tujuan.......................................................................................................... 3
B. BAB
II PEMBAHASAN
1.
Unsur IntrinsikCerita
Pendek “Pohon Hayat” Karya Mashdar Faisal
dan
“Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang........... 4
2.
Persamaan dan Perbedaan
Cerita Pendek “Pohon Hayat” Karya
Mashdar
Faisal dan “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon”
Karya
Faisal Oddang................................................................................... 6
dan
“Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang........... 9
C. BAB
III PENUTUP
1. Simpulan
........................................................................................................ 20
2. Saran
.............................................................................................................. 21
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................. 22
LAMPIRAN............................................................................................................. 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sastra
bandingan merupakan kajian ilmu sastra yang membandingkan dua buah karya sastra
untuk menemukan suatu keterkaitan dan perbedaan. Tujuan sastra bandingan adalah
yang pertama untuk mencari pengurut karya sastra satu dengan yang lain. Kedua
untuk menentukan karya sastra yang benar-benar orinisial dan mana yang bukan
dalam lingkup perjalanan sastra. Ketiga untuk menghilangkan kesan karya sastra
nasional tertentu lebih hebat disbanding karya sastra nasional yang lain.
Keempat mencari keragaman budaya dalam
karya sastra. Kelima untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan
karya sastra. Keenam yaitu untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara
dan keindahan karya sastra.
Pada
makalah sastra bandingan ini, penulis akan membandingkan dua buah karya sastra
yakni cerita pendek atau cerpen. Cerita pendek yang akan dibandingkan yakni
“Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam
Rahim Pohon” karya Faisal Oddang. Karya ini dipilih karena sama-sama
menceritakan tentang kehidupan dua buah pohon yang di dalamnya menyimpan sebuah
kehidupan. Selain itu, latar penulis yang berbeda, yakni Mashdar Zainal yang
berasal dari Malang, Jawa Timur dan Faisal Oddang yang berasal dari Wajo,
Sulawesi Selatan memberikan banyak hal yang berbeda untuk dikaji keterkaitannya
sehubungan dengan jalan cerita yang memiliki topik yang sama yaitu pohon.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar
Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal
Oddang?
2. Apa
saja persamaan dan perbedaan pada cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar
Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal
Oddang?
3. Apakah
pengaruh cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di
Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita pendek “Pohon Hayat”
karya Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya
Faisal Oddang.
2. untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan pada cerita pendek “Pohon Hayat” karya
Mashdar Zainal dan cerita pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya
Faisal Oddang.
3. Untuk
mengetahui pengaruh cerita pendek “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal dan cerita
pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Unsur
Intrinsik Cerita Pendek “Pohon Hayat”
Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya
Faisal Oddang
1.
Unsur
Intrinsik Cerita Pendek “Pohon Hayat”
Karya Mashdar Zainal
a.
Tema
Tema ialah persoalan yang menduduki
tempat utama dalam karya sastra. Tema pada cerpen Pohon Hayat yaitu setiap
orang akan mengalami kematian.
b. Tokoh
Tokoh adalah pelaku dalam karya
sastra. Di dalam karya sastra biasanya terdapat beberapa tokoh, dan satu
diantaranya tokoh utama. Dalam cerpen Pohon Hayat tokoh-tokoh yang terdapat di
dalamnya adalah tokoh:
1) Aku
2) Nenek
3) Ibu
Aku merupakan tokoh utama dalam cerpen Pohon Hayat.
c.
Penokohan
Penokohan atau perwatakan ialah
teknik atau cara-cara menampilkan tokoh. Adapun penokohan dari tokoh yang
terdapat dalam cerpen Pohon Hayat adalah sebagai berikut.
1)
Aku
Penokohan aku dalam cerpen Pohon
Hayat ialah pemberani, percaya diri, takut/khawatir, dan ikhlas.Kutipan dari cerpen
yang menunjukkan tokoh “ Aku” pemberani dan percaya diri :
“Suatu ketika,
aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat
langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu
pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku
menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan
alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum
satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.”
Kutipan cerpen Pohon Hayat yang
menunjukkan bahwa tokoh “Aku memiliki rasa takut dan khawatir:
“Saat
itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek”.
Kutipan
yang menunjukkan tokoh “Aku” memiliki sifat Ikhlas dalam cerpen Pohon Hayat
ialah :
“Ketika
aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa
kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku.
Bersama air mata, semua kularung ke udara.”
2) Nenek
Penokohan nenek dalam cerpen Pohon
Hayat ialah suka bertakhayul.
Kutipan yang menunjukkan bahwa nenek
merupakan tokoh yang suka bertakhayul ialah:
“Kata
nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang
bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun
yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun
artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.”
3)
Ibu
Penokohan Ibu dalam cerpen Pohon
Hayat ialah penyabar, baik, dan penyayang. Kutipan yang membuktikan bahwa tokoh
Ibu merupakan tokoh yang penyabar ialah:
“Dengan
sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika
ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.”
Kutipan yang membuktikan bahwa tokoh
Ibu merupakan tokoh yang baik ialah:
“Kian
waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah
engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam.
“Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu persatu dan habis. Suatu saat
nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua
sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas
sana.”
Kutipan yang membuktikan bahwa tokoh
Ibu merupakan tokoh yang penyayang:
“Kita
hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang
bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga, jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan
melepaskan kita dari tangkainya…,” ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan
suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga
rambutnya yang mulai pecah memutih.”
d. Latar
Latar
disebut juga setting, yaitu tempat
atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya
sastra. Latar yang terdapat dalam cerpen Pohon Hayat ialah latar tempat, waktu
dan suasana. Berikut ini penjelasannya dan dibuktikan dengan kutipan yang
terdapat dalam cerpen tersebut.
1)
Tempat
a)
Alun-alun kota
“Begitu
sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat
di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan
napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek mengadah ke atas. Aku
pun menirukannya.”
b) Rumah
“Sampai
di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakkan lirih, “Nenekmu sudah pergi”.
2) Waktu
Waktu yang digambarkan dalam cerpen
ini yaitu siang hari yang dapat diketahui jika membaca cerpen secara
keseluruhan.
a) Suasana
(1) Menyedihkan
Kutipan dalam cerpen:
“Sampai
di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakkan lirih, “Nenekmu sudah pergi”.
“Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di
alun-alun kota beberapa saat lalu.”
(2) Porak poranda
Kutipan dalam cerpen:
“Aku
merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan,
pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu,
tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.”
“Ketika
aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa
kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku.
Bersama air mata, semua kularung ke udara.
e.
Alur
Alur
disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab
akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat dan utuh. Alur yang
digunakan pengarang dalam cerpen Pohon
Hayat ialah alur maju. Pengarang mengisahkan tokoh aku dari kecil, ia merantau
dan akhirnya kembali ke tempat kelahiran yang sudah mengalami perubahan.
f.
Pusat
pengisahan (sudut pandang)
Pusat
pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pada cerpen
Pohon Hayat pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh
utama yang disebutkan dengan aku.
g.
Amanat
Amanat ialah pemecahan yang
diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. amanat yang
ingin disampaikan pengarang melalui cerpen pohon hayat ialah sebagai manusia
kita bisa kapan saja berpulang pada kematian yang telah ditentukan oleh Tuhan. Kematian
akan datang kapan saja, di mana saja, pada siapa saja dan karena apa saja, baik
tua atau muda akan mengalami kematian karena semua itu sudah ditakdirkan.
Sebagai manusia kita harus tetap sabar dan ikhlas apabila kita kehilangan
seseorang yang sangat kita sayangi, dan kita harus ingat bahwa hal itu mutlak
terjadi.
2.
Unsur
Intrinsik Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
Adapun
unsur intrinsik Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal
Oddang adalah sebagai berikut.
a.
Tema
Cerita
pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang bertemakan
sosial-budaya di suatu daerah, tepatnya berada di daerah Makassar yaitu pada
tradisi masyrakat Toraja tentang proses pemakaman dan status seseorang yang meninggal.
Adapun kutipan yang menunjukkan hal ini, sebagai berikut:
“Di Passiliran ini, kendati begitu ringkih,
tubuh Indo tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam
tubuhnya—bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela
usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu— menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami
akan berganti menjadi ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi
yang belum tumbuh giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga.” (Paragraf 1, hal.
2)
b.
Latar
Berikut
latar yang terdapat pada cerpen “Di
Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang.
1) latar
waktu:
a) malam
hari, berikut kutipannya: “tongkonan tampak gelap malam itu.” (hal.3)
b) siang
hari, berikut kutipanya” “pagi mulai beranjak siang. ku tahu itu dari getah
putih yang mulai tak deras mengucur dari tubuh indo.“(hal. 4)
c) pagi
hari, berikut kutipannya: “pagi turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing
batu an kekar akar-akar yang menjulangkan pohon di bukit Toraja.” (hal. 6)
2) latar
tempat
a) di
ambang bilik (di pintu rumah), berikut
kutipannya: “aku duduk di ambang bilik, melempar tatap sejauh mungkin.” (hal.4)
b) di
tongkonan (rumah adat Toraja), berikut kutipannya: “ambemu tokapua, sama
seperti indomu, tak ayal, rampanan kappa harus dihelat mewah di tongkonan
mereka.” (hal. 4)
c.
Tokoh
dan Penokohan
Berikut
tokoh serta penokohan yang terdapat dalam cerpen “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim
Pohon” Karya Faisal Oddang.
1) lola
toding
a) rendah
diri, berikut kutipannya:
”Aku
mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’6
sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.” (hal. 2), dan
“Saya
dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami ini hanya
tomakaka, bahkan ada tobuda7, tak seberapa nyali kami untuk
melancangi kaum junjungan sepertimu.”(hal.2)
b) keturunan
bangsawan, berikut kutipannya:
“Ambemu tokapua, sama
seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa12 harus dihelat mewah di
tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang menghindar, tulah akan
menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana. Kendatipun bukan pokok perkara,
pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati sebelum sempat mengecapi dunia lebih
lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak Indo yang lain.” (hal. 4-5)
2) runduma
a) menepati
janji, berikut kutipannya:
“Pagi
mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang mulai tak deras
mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok saya lanjutkan,
Toding,” cetusmu.
”Kau janji?”
”Pasti saya cerita!”
(hal.4)
d.
Sudut
Pandang
Sudut
pandang dalam cerpen “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya Faisal Oddang
orang ke3 serba tahu.
e.
Amanat
Adapun
amanat yang terdapat dalam cerpen “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” adalah,
bahwa status seorang manusia tidak akan ada artinya apabila mereka meninggal,
karena semua akan masuk syurga atau sama di mata tuhan. entah ia berasal dari
keluarga bangsawan atau tidak. `
B.
Persamaan
dan Perbedaan Cerita Pendek “Pohon
Hayat” Karya Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim
Pohon” Karya Faisal Oddang
1.
Persamaan
Cerita Pendek “Pohon Hayat” Karya
Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya
Faisal Oddang
Persamaan yang terdapat pada kedua cerpen ini yaitu sama-sama
mengaitkan kehidupan manusia dengan sebuah pohon yang terdapat pada kutipan
cerpen berikut:
a.
Pada cerpen Pohon Hayat “Kata
nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang
bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun
yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun
artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek”
b.
Pada cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon “Pagi turun bersama kabut yang
menutupi tebing-tebing batu dan kekar akar-akar yang menjulangkan pohon di
bukit Toraja.”
Selain itu, kedua cerpen tersebut
mempunyai kesamaan di unsur intrinsiknya. Adapun kesamaannya, antara lain:

2.
Perbedaan
Cerita Pendek “Pohon Hayat” Karya
Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya
Faisal Oddang
Perbedaan
|
Di Tubuh
Tarra, dalam Rahim Pohon
|
Pohon Hayat
|
|
Pada cerita ini pohon kematian yang terdapat
dalam cerpen DI Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon merupakan sebuah kuburan yang
dikhususkan untuk bayi atau anak kecil.
“Di Passiliran ini, kendati ringkih ...”
|
Pohon
Hayat merupakan pohon kematian yang menjadi penanda lepasnya kehidupan
seseorang bila daunnya gugur.
“satu
daun artinya satu kehidupan”
|
|
Tokoh di cerita ini merupakan tokoh yang sudah
meninggal.
“engkau meninggal-entah sebab apa.”
|
Tokoh di cerita Pohon Hayat merupakan tokoh yang
masih hidup.
“tubuhku gemetar memandangi satu-satunya dan yang
masih bertengger di sana.”
Daun tersebut merupakan daun kehidupan milik si
tokoh utama (aku)
|
|
Latar tempat dalam cerita ini di dalam tubuh
pohon yang dijadikan makam.
“malam setelah kau makam di tubuhnya.”
Selain itu, latar tempat di cerita ini adalah di
pedesaan di Toraja yang masih memegang teguh adat istiadat.
“mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh.”
“Keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu
solo.”
Rambu solo adalan upacara atau perayaan kematian
di Toraja.”
|
Dalam cerita Pohon Hayat ini latar tempatnya di
sebuah alun-alun kota yang terdapat pohon.
“Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung
mengajakku ke pusat alun-alun, tempat dimana pohon itu berada.”
|
|
Pada cerita Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon
alur cerita menggunakan alur campuran (maju-mundur).
|
Pada cerita Pohon Hayat alur cerita menggunakan
alur maju. Cerita tersebut menceritakan masa kecil tokoh utama (aku) sampai
ia merantau dan kembali ke tempat kelahiranya yang mengalami perubahan.
|
3.
Pengaruh
Cerita Pendek “Pohon Hayat” Karya
Mashdar Zainal dan Cerita Pendek “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon” Karya
Faisal Oddang
Karya
satra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya
sastra yang hidup di suatu zaman. Cerpen pohon hayat yang di ciptakan oleh
Mashdar Zainal lahir pada tahun 2012. Cerpen ini dalam struktur teksnya
menceritakan tentang makna suatu pohon yang melambangkan kehidupan yang
mengalami perputaran hingga akhir hayat.Menurut hemat si peneliti dalam
hipotesisnya mengatakan terdapat hubungan yang sangat erat dalam struktur teks
cerpen pohon hayat dengan cerpen di tubuh tarra dalam rahim pohon. Jauh sebelum
manusia memiliki relasi rumit menggunakan bahasa kembali manuia kepada-Nya.
Keterkaitan kedua cerpen memiliki pengaruh ini kepada pembaca tentang
makna-makna kehidupan, arti sebuah kehidupan dan tentang bagaimana caranya
untuk hidup. interaksi pertama dan paling kuno adalah hubungan
manusia dengan alam. Pemaknaan dalam kedua cerpen yaitu bagaimana suatu pohon
yang melambangkan kehidupan dan kematian dan pohon yang dijadikan tempat
Penulis tidak dapat memastikan bahwa cerpen Pohon hayat berpengaruh pada cerpen
di tubuh tarra dalam rahim pohon. Akan tetapi jika di telisik dari unsur
pembuatan cerpen tersebut dimana pohon hayat lebih dahulu lahir bisa saja
memiliki pengaruh terhadap struktur teks di tubuh tarra dalam rahim pohon.
Terlepas dari itu semua memang tidak bisa dipungkiri bahwa kedua cerpen
tersebut sama-sama mengupas tentang arti kehidupan yang menyiratkan bahwa
sesungguhnya tidak ada yang bersifat abadi di dunia ini.
4.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2012. Kumpulan Cerpen Kompas. Online
(dikunjungi pada Tanggal 30 Maret 2016,
Https://Cerpenkompas.Wordpress.Com).
Oddang, Faisal.
2014. Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon.
Online
(dikunjungi pada
Tanggal 31 Maret 2016, Https://Lakonhidup.Wordpress.Com).
Nugraha,
Oktavian Aditya.
2014. Sastra Banding. (Online)
POHON HAYAT
Karya Mashdar Zainal
Sebelum
daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh
di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau
mungkin ribuan tahun lalu.
Tak
ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek
kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung
raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman
bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat.
Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar
serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.
Kata
nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang
bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun
yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun
artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
Suatu
ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk
melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau
ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat,
pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak
antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik
angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.
Begitu
sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat
di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan
napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun
menirukannya.
”Banyak
sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek.
Lelah
menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di
mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.
”Nek,”
aku menjawil lengan nenek.
”Ya?”
”Apakah
daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang
sudah mati?”
”Ya,
daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.”
”Berarti
jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”
”Mungkin.
Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”
”Nek.”
”Ya?”
”Mengapa
daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.”
”Tak
perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur
menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
Kepalaku
kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?”
”Mereka
adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah
lama bertengger di atas pohon kehidupan.”
”Apakah
mereka akan segera gugur.”
”Tentu
saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”
”Apa
Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap
gugur itu?”
”Nenek
tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.”
Aku
terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek,
milikku, dan juga milik ibu.
”Nek.”
”Ya?”
”Tunas-tunas
daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir
di kota ini, ya, kan?”
”Ya.
Benar, memang kenapa?”
”Berarti,
sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?”
”Ya.
Tentu saja.”
”Artinya,
masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”
Nenek
mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di
atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua
daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas
pun bisa saja patah dan gugur.”
Aku
terdiam. Mencerna kata-kata nenek.
Sepulang
dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari
berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ’penyakit
orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa
sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian
parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air
kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu
kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal
yang sama.
Kian
hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat
itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek.
Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku
beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan
kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana.
Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi
seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun
berhak tahu atas rahasia itu.
Berjam-jam
aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek
hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku
beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus.
Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di
tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih
mengepul kepala.
Sampai
di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”
Bujur
tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun
kota beberapa saat lalu.
Seiring
usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun
merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang
kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya.
Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun
kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang
sulit untuk dipercaya.
Setiap
manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan
daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu
benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun
kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap
penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.
Meski
hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak
setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku
selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di
sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen,
pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor,
semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah
adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku
melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah
kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.
Tahun
berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota.
Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah,
daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau
seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama
yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan
beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para
manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah.
Aku
tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu.
Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu,
pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah
kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop.
Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang
pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan
gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak
ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela.
Barangkali
orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon
kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan
syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan,
tanpa melupakan kenangan.
Di
zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang
kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar
kabar, bersilang doa.
”Kian
waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah
engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam.
”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat
nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua
sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas
sana.
”Kita
hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang
bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan
melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan
suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga
rambutnya yang mulai pecah memutih.
Terbayang
dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh.
Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat.
Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa
bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan
tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan.
Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak
sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah.
Ketika
aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa
kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku.
Bersama air mata, semua kularung ke udara.
Aku
merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan,
pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku
gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.
”Suatu
saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya.
Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung
di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.
DI TUBUH TARRA DALAM RAHIM POHON
Karya Faisal Oddang
DI PASSILIRAN2 ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo3 tidak pernah
menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun kami
menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami
lumat oleh waktu—menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi
ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh
giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga. Beberapa hari yang lalu, kau
meninggal—entah sebab apa. Kulihat kerabatmu menegakkan eran4 di
tubuh Indo untuk mereka panjati. Sudah kuduga, kau keturunan tokapua5,
makammu harus diletakkan di tempat tinggi. Padahal kau, aku, dan anak-anak Indo
yang lain, kelak di surga yang sama. Pagi-pagi sekali, kau berdiri di
ambang bilik—mengetuk pintu ijukku yang rontok sebab bertahun-tahun tak
diganti.
”Boleh masuk?”
Aku mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’6
sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.
”Maaf,” bukamu, ”sudah seminggu saya di sini, tapi saya sepertinya
masih sangat asing.”
”Saya dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami
ini hanya tomakaka, bahkan ada tobuda7, tak seberapa nyali kami
untuk melancangi kaum junjungan sepertimu.”
Air matamu jatuh, luruh satu demi satu. Apa yang salah dariku, atau
darimu, Runduma? Iya, kutahu namamu dari Indo, malam setelah kau makam di
tubuhnya, Indo menerakan segala perihal kau, mesti tak jelas dan tentu saja
samar-samar. Kau membawa banyak luka dari dunia?
”Di dunia, saya junjunganmu. Tapi di sini beda…,” kau menggantung,
wajahmu kian rusuh, adakah yang kisruh di pikiranmu? Kemudian, tangisanmu
keras, bertambah deras buyar air matamu.
”Lola Toding?”
Aku tergagau. Kau tahu namaku? Ah ya, pasti Indo yang memberi tahu. Kau
duduk geming—wajahmu tampak ragu.
”Ceritalah!” terkaku, dan aku yakin kau ingin menerakan sesuatu.
”Jangan sampai yang lain tahu, kau bisa menjaga rahasia, kan?”
Aku mengangguk meyakinkanmu. Kau menimpalkan senyuman lantas memulai
kisahmu, dengan dada yang kelihatan sesak. Koyak.
Tongkonan8 tampak gegap malam itu. Suara-suara riuh.
Wajah-wajah penuh peluh. Orang-orang berlibat bicara. Sesaat situasi menegang
ketika seorang lelaki paruh baya memegang leher baju pemuda yang wajahnya
kusut.
”Pemuda kusut itu ambe9ku.” Kausela ceritamu sendiri. Aku
mengangguk, memberimu isyarat melanjutkan cerita.
Ambemu diam dalam simpuhnya. Ia tertssunduk lesu. Matanya berkaca-kaca
seperti hendak marah namun tak sanggup.
”Dia sudah menyalahi pemali mappangngan buni10. Ia
berzinah,” geram lelaki paruh baya itu. Dia kakekmu, Runduma? Betul. Kau
mengangguk.
Ambe dan indomu pacaran. Bukan lantaran mereka saling mencintai
sehingga adat tak adil padanya. Bukan. Seperti yang kauterakan; orangtuamu itu
kedapatan saling tindih di semak belakang tongkonan sebelum resmi menikah.
Untung yang menemukan mereka kerabatmu juga sehingga tak ia sebar kabarnya ke
penjuru kampung.
Pagi mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang
mulai tak deras mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok saya lanjutkan, Toding,” cetusmu.
”Kau janji?”
”Pasti saya cerita!”
”Janji jangan panggil Toding, itu nama lelaki, nama ayahku. Lola saja,”
gelakku.
Kau tersenyum, tampak geli mendengarku.
Awan Agustus meriung di langit Toraja. Derau angin merontokkan
rambut-rambut Indo yang kecoklatan. Aku duduk di ambang bilik, melempar tatap
sejauh mungkin. Sebentar lagi, mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh.
Kudengar kabar, keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu solo11
untuk mayat tanggungannya yang masih sakit dalam tongkonan. Ingin rasanya aku
mengajakmu ke sana. Paling tidak, di sana kita akan melepas rindu pada sanak
kerabat. Bukankah, bagi kita anak-anak Indo, surga kecil adalah senyuman
kerabat. Atau kau ingin bertemu orangtuamu? Ikutlah denganku, Runduma, aku
yakin acaranya pasti meriah. Akan ada puluhan kerbau yang dipotong, babi juga
pasti banyak.
”Toding,” tegurmu melamurkan lamunku. Aku berbalik badan. Menatapmu
tajam.
”Eh, maaf, maksud saya, Lola,” tambahmu lekas.
”Ada apa? Mau melanjutkan yang tak sampai waktu itu?”
”Punya waktu?”
”Silakan,” timpalku tanpa menjawab basa-basi mu.
Ambemu tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa12
harus dihelat mewah di tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang
menghindar, tulah akan menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana.
Kendatipun bukan pokok perkara, pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati
sebelum sempat mengecapi dunia lebih lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak
Indo yang lain.
”Pernikahan mereka lancar, hingga saya lahir dan berusia lima bulan.
Semuanya berakhir begitu saja.” Kau tersedu. Tidak dapat melanjutkan kalimatmu.
Lelaki dapat koyak juga, batinku. Tak sadar, kini kau telah merasuk dalam
pelukanku.
Malam itu, malam terakhirmu di dunia. Kau mengembuskan napas
penghabisan di tangan kedua orangtuamu. Mereka tak pernah akur setelah rahasia
pernikahannya terbongkar. Ambemu menanggung borok utang. Sebagai kaum
bangsawan, ambemu wajib membayar dengan dua belas kerbau dewasa untuk
menyunting indomu. Jadilah ia memungut uang di kiri-kanan, tentu dengan bunga
yang tinggi. Setelah lebih setahun pernikahan mereka utang ratusan juta itu
belum juga dapat ambemu lunasi. Ia jadi sering marah. Memukuli dan mengumpati
indomu. Kau sial malam itu, Runduma. Dari gendongan indomu kau terpental
setelah ambemu tak lagi meredam amarahnya sehingga ia melompat dan mendorong
indomu hingga tersungkur. Indomu meringis. Kepalamu mendabik keras lantai
tongkonan. Sesaat hening. Kemudian suasana keruh. Rusuh. Ambemu kalap.
Gelagapan. Indomu merasukkan tubuhmu ke gendongannya.
”Saya merasa napasku berat malam itu. Lalu tersengal-sengal,” katamu,
dan kau semakin rapat dalam pelukanku.
”Kau ingat semuanya?” tanyaku penasaran.
”Tidak semua, tapi beberapa kejadian di jelang kematianku masih kuingat
meski agak samar,” jelasmu.
Ambemu panik. Indomu jangan ditanya lagi. Ia kehilangan daya ketika
melihat tangannya yang menadah kepalamu memerah darah. Di gendongannya kau
dibawa lari ke muka tongkonan, ia berteriak.
”Tidak ada yang mendengar. Kupikir semuanya telah kalap dalam lelap.”
Kau menukas kisahmu dengan pernyataan yang seakan-akan kausesali.
”Jadi kematianmu hanya disaksikan ambe serta indomu?”
”Tidak juga,” lantas jawabmu. ”Saat Puang Matua13 membawa
arwahku, masih sempat kulihat Tanta Mori—adik perempuan Ambe menangisiku yang
telah kaku di gendongan Indo.”
Kau menutup ceritamu dengan mengatupkan rapat lenganmu ke tubuhku. Kau
memelukku lama. Lama sekali hingga kurasakan perasaan aneh terus menjalariku.
Apakah ini cinta? Semoga tidak.
”Saya tak punya siapa-siapa,” selamu mengantarai isakanmu sendiri.
Kutepuk halus pundakmu, ”Ada kami dan Indo. Jangan bilang begitu.”
Perasaan aneh itu bertambah hebat dan akhirnya benar-benar merisakku.
Aku mencintaimu, Runduma.
Pagi turun bersama kabut yang menutupi tebing-tebing batu dan kekar
akar-akar yang menjulangkan pohon di bukit Toraja. Rumah kita dingin sekali
pagi ini. Aku tengah menyusu. Riuh suara-suara terdengar di halaman passiliran.
Runduma, kau datang padaku pagi itu dengan wajah yang menyimpan banyak cerita.
Aku tahu itu. Kau lantas mengajakku masuk bilik dan duduk berhadapan.
”Lola, kau tahu siapa yang jadi memandu turis-turis itu?”
Aku menggeleng. Bingung.
”Sini, sini,” kau tarik tanganku lalu bersama kita singkap ijuk
bilikku.
”Itu, tuh…”
Aku menelisik kerumunan orang yang sibuk berfoto di depan Indo.
”Yang pakai kacamata?”
”Bukan!” tukasmu.
”Yang berbaju coklat, pasti itu!
”Itu Ambe,” kau lesu mengatakannya. Wajahmu tampak begitu kisruh
Runduma.
Kau tampak sedih hari ini. Padahal seharusnya rindumu terobati dan kau
tak boleh menampung begitu banyak muram di dadamu. Lama sekali kita berdiam di
ambang bilik menyaksikan pongah pengunjung dan tawa mereka yang kerap memilukan
kita.
”Ambe menyambi pemandu saat bulan-bulan wisata, di hari biasa ia
menggarap sawah.”
”Lihat, dia tahu banyak tentang Indo.” Kuarahkan pandangan ke ambemu.
Ia tengah menjelaskan kepada turis-turis itu tentang passiliran ini.
”Ia bekerja sejak lajang.”
”Pantas!” anggukku.
Pagi tidak datang seperti biasa, lambat—lamat-lamat. Hari ini pagi
dibangunkan oleh Indo, passiliran gempar. Indo murka. Anak-anaknya ketakutan.
Rambut-rambut Indo berguguran. Meranggas satu-satu. Getahnya mengucur deras
menjadi air mata.
”Kau di mana, Lola?”
Suara Indo bergetar memanggilku. Lantang seperti nekara ditabuh. Aku
bergidik mendengarnya. Namun tak bisa menyahut.
”Di mana kau, Lola?” tanyamu dalam isakan. ”Mengapa kau pergi, saya
mencintaimu.” Suaramu membuat debaran aneh itu kian menjalariku. Kau
mencintaiku juga, Runduma?
Indo masih murka. Hampir tumbang tubuhnya lantaran tak dapat memendam
dendam. Ia kehilangan anaknya. Semalam, tanpa ada yang tahu, ambemu,
Runduma—membawa mayatku yang hanya tulang berbalut belulang. Ia menjualnya
seharga ratusan juta rupiah kepada turis yang kemarin ia temani. Sekeras
mungkin kuteriaki kau yang masih bersimpuh di bilikku yang kini kosong. Dari
sini, antara surga dan passiliran arwahku tergantung tak jelas. Sebab tubuhku
tak lagi menyatu dengan Indo. Aku mencintaimu, Runduma. Kuyakin kau tak
mendengarnya.
Catatan:
1. Tarra: pohon besar berdiameter hingga 3 meter yang dijadikan tempat
mengubur bayi di Toraja.
2. Passiliran: kuburan bayi di Toraja, dibuat di pohon tarra.
3. Indo: ibu
4. Eran: tangga
5. Tokapua: golongan bangsawan/kasta tertinggi
6. Tomakaka: kasta menengah
7. Tobuda: kasta terendah
8. Tongkonan: rumah adat Toraja
9. Ambe: ayah
10. Pemali mapangngan buni’: larangan berzina
11. Rambu solo: perayaan kematian di Toraja
12. Rampanan Kapa: pesta pernikahan
13. Puang Matua: Tuhan